Raindu

M. Yusuf Kamal
Chapter #15

15

°°°°

Selesai makan malam bareng bersama keluarga Farah. Malun keluar dan ia duduk di teras meja. Hening kawasan kompleks di sini, beda jauh sama kompleks Malun yang ramai oleh bapak-bapak Saptam main catur, menyetel lagu Roma Irama dan pak RT ikut gabung bersama warganya. Malun menyalakan rokoknya mengisap dalam-dalam, mengembuskan ke angkasa, punggungnya ia hempaskan ke bangku, melonjorkan kedua kakinya.

Musik The Rolling Stones “Just Your Pool” ia menjadi iringan mengusir sepi. Farah pun ikut gabung dengan Malun di teras itu, suasana seketika buyar, Malun lagi enak sebat, menikmati semilir angin malam. Eh datang biang kerok, mengacaukan.

“Kamu ngerokok? bilangin ibu, lhoo!” Farah duduk di seberang Malun, menaruh gelas berisi teh di meja bersebelahan dengan kopi.

“Bawel, ah, gausah ganggu!” mengisap kembali rokoknya. Beberapa bulan lalu Malun ketahuan merokok ketika Ibu membereskan kamarnya, Malun lupa merapihkannya kembali, naas. Dia di marahi, akhir-akhir ini Malun entah kenapa jikalau dirinya merokok berasa semuanya lega, dada tadinya sesak, terasa plong dan katanya dia tulis dalam buku; “akhir- akhir ini ngerokok kok nikmat banget, ya, ngerasa dada gue jadi lega. Gue ngerokok juga ada alasan, kok.”

“lagian juga udah ketahuan ama Ibu, jadi, ya. Bilang aja sok.” tantang Malun.

Farah berdecak, matanya sinis kemudian sibuk sama ponselnya. Malun tidak mempermasalahkan.

“Ibu bilang, besok mau kesini sama si Pyan.” Malun mengangguk, nikmat sekali sebat sewaktu malam itu.

Pyan adalah nama adik Malun

“Mau lanjut kemana kamu, Ra?” Malun bertanya soal Farah kuliah di mana.

Mengalihkan pandangannya. “Aku bingung di tanya kayak gitu, teh. Belum ada gambaran kuliah di mana.”

“Tanya gitu aja, kok, marah.” tertawa sebentar.

“Kamu, Lun?” nah, kan, Farah marah sama Malun nggak pernah lebih dari lima menit.

“Jogjakarta, Ra,” jawabnya bangga.

Malun membicarakan soal ini kepada Ibunya, Malun di beri pilihan bebas pengin kuliah di mana, eh, dia malah bingung. Ibu menyarankan agar dia kuliah di Jogjakarta tempat ibunya dulu kuliah disitu. Soalnya gampang, teman-temannya ibu ada yang punya kost, jadinya Malun tidak usah ribet-ribet nyari kost.

“Bibi dulu, disitu, kan?”

Lagi-lagi ia mengangguk.

“Masuk, Raa. Makin malam makin dingin, yuk! Ah.”

Kini tinggal Malun di teras itu. Waktu luang untuk mengirim surat lewat hati pada wisata masa lalu walau mustahil banget dia kembali, seenggaknya, kan, salah satu cara adalah ngobrol sama diri sendiri.

Rokok ia matikan, tangannya memangku dahinya itu. Malun memejakan mata beberapa menit sebelum percakapan di mulai;

Bagaimana aku mau lupain kamu, sedangkan kau terus saja menghantuiku lewat tempat yang dulu kita pernah kunjungi. Rain, walau kita belum sempat jadian, percayalah. Kau adalah wanita yang mengajarkan arti menunggu dan apa itu cinta. Kau pertama kali membawaku ke dasar jurang bersamamu sehingga kini aku kadang nggak percaya bahwa kau pergi secepat itu. Paling aku ingat ketika kamu menanyakanku kepada Farah dan dia laporan. Ini kata Farah setelah aku penasaran apa yang kamu tanya tentang aku.

“Keseharianku di rumah ngapain, aja?

“Malun itu orangnya pendiam, ya?

Kamu tahu, di bagian itu Farah tertawa puas seolah tahu kelakuanku gimana. Memang, dia saja yang tahu kelakuanku dan ketiga kawanku. Aku bersyukur punya kamu, Farah dan kedua kawanku.

Pagi tiba. Ibu dan pyan berada di rumah tante pukul setengah sembilan. Malun baru bangun setengah sepuluh, dia membasuh muka dan menemui ibunya langsung.

“Anak ganteng baru bangun!” menepuk-nepuk bahunya, Malun cengar-cengir.

Lihat selengkapnya