Sepulang sekolah Malun tidak langsung pulang kerumah melainkan dia ke pasar tradisional untuk membeli kembang dan air bunga mawar. Selepasnya dia menuju ketempat pemakaman umum, ia masih mengenakan seragam SMA. Motor terparkir, dia diam menatap kosong ke depan, napasnya menjadi berat, kepedihan dua tahun lalu tersimpan dalam dirinya, melangkah pun berat seperti tertahan. “Aku datang, Rain.” mulai memasuki kawasan pemakaman, beberapa orang lagi ziarah sebelum memasuki kawasan pemakaman, terdapat pos dan di sebelahnya pohon beringin besar dan ada penjaga makam bersama tiga orang bapak-bapak sedang ngopi seberas membersihkan pemakaman.
Dipertengahan jalan Malun menyapa seorang perempuan tidak asing lagi baginya. Sedikit kaget melihat sosok itu berjalan bersama seseorang.
“Hai, Ajeng,” sapa Malun, “Kamu sedang apa disini?” tanya Malun.
“Abis ziarah,” jawabnya.
“Maaf, aku lagi buru-buru, Lun, daaah,” pamit Ajeng, mulai berjalan dan melewati laki-laki di depannya. Wangi sekali perempuan ini.
“Hati-hati.” senyum Malun menatap punggung perempuan itu perlahan menghilang.
Malun duduk di depan makam Rain, tangannya menabur bunga dan air kembang mawar, menundukkan kepala, perlahan matanya tak kuat, tetesan air mata mulai jatuh.
“Kamu apa kabar, Rain?
“Maaf aku baru kesini lagi, belakangan ini aku sibuk, kamu mau tau, gak?” di depan makam Rain, Malun mengusap rumput-rumput yang berada di sekitar makam Rain, memandangi papan nama.
“Bentar lagi kita lulus, lho. Eum, cepat banget, ya, dan kamu mah enak tidur terus,” tertawa kecil, “kalo kamu bisa liat, aku masih mengenakan seragam sekolah, hehe, kalo misal kamu masih ada pasti kamu marah, kan?
“Aku tidak bisa berlama-lama disini, Rain, dan aku janji nanti kesini lagi, kok, tenang, kamu nggak sendirian dan sekarang kamu tidak merasakan sakit-sakitan lagi, tangan kamu di infus lagi heheheh.”
Malun bangkit, matanya memandang dalam-dalam ke pemakaman itu, perlahan melangkah walau seperti berat rasanya meninggalkan, mau tidak mau dia pun meninggalkan di barengi kesedihan begitu mendalam, jantungnya sesak, akan tetapi ini takdir, tidak bisa di majukan atau di mundurkan apalagi di salahkan. Di jalanan kota, Malun berhenti sebentar di warung pinggir jalan, membeli satu botol Aqua dingin. Kota Hujan sedang panas-panasnya.
Setiba di rumah, Pyan lagi main sama kawan-kawan di halaman rumah. Di dalam kamar dirinya hanya bisa duduk di atas kasur, di sebelah meja belajar, dua bingkai poto terpampang saling bersebelahan. Yang satu terdapat tiga orang lagi berpoto di Candi Borobudur dan satunya lagi Malun bersama Farah sewaktu kecil berumur lima atau empat tahun.