Ini benar deh, nggak sengaja, mereka tidak janjian. Mungkin takdir atau gimana mereka bertemu saat keduanya lari pagi di lingkungan kompleks. Sebelum adanya Ciara di sini, Malun membikin jadwal olahraga. Jadi, Senin—Sabtu kan sekolah, Minggu lari pagi setelah itu makan bubur di depan. Melihat aktivitas orang-orang lalu lalang, anak kecil bermain bola di lapangan dahulu Malun main disitu juga, sekarang teman-teman kompleks pindah saat mereka umur sepuluh tahun. Malun sendiri, tiada teman, namun tak sepi, hari-harinya dihabiskan dalam kamar, menonton film atau menulis.
“Sarapan dulu, Cia, kebetulan ada bubur ayam di depan, kamu ikut?” ajak Malun pertama kali dari awal bertemu belum makan bareng. Bubur ayam langganan Malun, tempatnya pas banget. Di sebelahnya Indomaret, di depan kantor pos JNE, duduk di bangku plastik menunggu pesanan.
“Baru pertama kali, kan, makan di sini? Nah, kamu harus coba nih.” Malun mengambil telur putih tusuk, Malun tahu saja kesukaan dia tanpa Ciara bilang bahwa itu kesukaannya, Dia diam saja seolah mengerti bahwa Malun sudah mengetahui sendiri.
“Telur puyuhnya beda dari lain, Cia,” lanjutnya.
“Oh, ya, ini beli di mana mang telur puyuhnya?” tanya Malun ke si Bapak mengenakan topi, handuk di seling di leher.
“Si ujang masa gak tau atuh, dari Mekkah!” celetukan membuat mereka tertawa mendengar candaan bapak-bapak.
“Nah ... kamu dengar, kan, dari Mekkah, wajar kan enak, mana berkah lagi”
Mereka melanjutkan sarapan bubur ayam. Selesai makan. Ciara pergi ke Indomaret. Keluar, meneteng plastik putih berisi minuman.
“Buat bapak satu,” menyodorkan minuman Mizone, “biar nambah semangat, pak!”
“Makasih, Neng, udah cantik, baik lagi.” puji Bapak itu.
“Kompleks ini menurut aku strategis, kemana-mana dekat,” ujarnya. “ke warkop tinggal jalan dekat dari sini juga, mau ngirim barang dekat ada JNE, yah, aku senang disini.” membenarkan anak rambutnya, Malun mendengarkan walaupun suara motor menganggunya.
“Nanti deh aku ajak kamu makan di warkop.” mereka berdua sudah akrab, setiap sore suka ngobrol di bunderan kompleks, duduk-duduk hingga matahari tenggelam. Orang tua Cia sudah mengenal Malun, tentu ibunya mereka saling ngobrol ketika berbelanja sayuran.
“Ayo, dong, aku gak pernah ke warkop, lho?”
“Iya, nih, aku jarang ke warkop”
“Mau kapan, nih?”
Berpikir sejenak, “Nanti aku kabarin, ya,”
“Malun, pulangg yuk!”