°°°°
Di lorong sekolah Malun berjalan lesuh, tatapan matanya kosong mengarah kedepan. Orang nyapa dicuekkan. Dipikirannya hanya Rain, Rain dan Rain. Duduk dipojokan bangku, menyandarkan bahunya ke tembok, menarik napas panjang-panjang. Di dadanya seperti menyangkut kecemasan yang membuat dirinya begitu muram. Tiga Minggu, Rain tak ada kabar sama sekali, bertanya-tanya kepada teman dekatnya jawabanya sama; TIDAK TAHU.
“Rain kamu kemana? Please jangan membuat cemas, Rain.”
Istirahat tiba, Malun tetap duduk di bangkunya, bermain handphone. Diajak kawaannya ke kantin menolak, biasanya dia paling girang ketika bel istirahat, alasannya karena bisa ngobrol bersama Rain di kantin, semeja dengannya. Farah sedari tadi memperhatikan saudaranya. Terus-menerus pikiran dia bakal kacau balau, menghampiri Malun. Farah membawa sandwich dalam kotak makannya. Duduk di sebelahnya, membukanya langsung setelah dia melahap setengah sandwich. Menawari kepada Malun.
“Kamu kenapa sih! Jangan buat diri kamu tersiksa, Malun.” melahap sandwich sisa setengah lagi. Tangan lelaki disebelah meraih sandwich juga, melahapnya. Kayak orang belum makan empat hari.
“Kabar Rain gimana, Ra? Aku khawatir dia kenapa-kenapa,” ucapnya lirih, menyandarkan punggung ke bangku. Dalam kelas menyisakan empat orang.
“Dia baik-baik aja. Justru yang mengkhawatirkan itu kondisi kamu. Rain senang, kalo kamu senang, Malun.” Malun mendengarkan ocehan saudaranya. Ada benarnya juga tapi, ya. Disaat kita mencemaskan orang lain, justru yang dibenak orang itu adalah sama halnya juga. Karena perasaan itu rasanya kuat banget kalo memang sudah melekat.
Malun terdiam, mengalihkannya ke handphone. Scroll Twitter yang lagi trending.
Farah mengetahui semuanya, dirinya khawatir misal Farah memberi tahunya sekarang, walau dia berhak mengetahuinya. Akan tetapi Rain melarangnya.
Sepulang sekolah Malun memutuskan kerumah Rain. Ketika tiba di halaman rumah. Sepi, bahkan banyak dedaunan dimana-mana. Nah, disini Malun mulai merasakan kejanggalan. Cukup lama duduk di atas motor sembari memandang ke arah teras meja;
“Ditempat ini menjadi tanda tanya, Rain. Setelah aku menyatakan rasa suka kepadamu, kau tiba-tiba menangis. Di teras rumahmu ini, ah. Kau ingat tidak? Kau tidak sengaja menumpahkan kopi yang baru saja dibuat olehmu, kau membikin lagi, aku larang, kau kekeh. Di teras rumah itu, kita berbincang-bincang apa saja, aku ingin berlama-lama denganmu.
“Tetapi, keadaan justru berubah. Dalam tiga Minggu belakangan ini, kau menghilang tanpa kabar. Entah tak terhitung keberapa kali aku menghubungi nomormu.
“Baik atau buruk keadaanmu. Tak masalah bagiku, kau satu-satunya perempuan bagiku separuh hidupku. Kau perempuan membuatku sadar akan hal mencintai dan menyayangi. Walau aku tak tahu apa itu cinta?”
Tiga puluh menit Malun diam diri di halaman rumah Rain, terduduk. Dan lambat laun meninggalkan, motornya melaju kencang menuju sebuah kedai kopi berada di JL. Kencana, Fanaticoffe. Masih mengenakan seragam sekolah, pukul setengah dua. Cafe terletak pinggir jalan, di sebelah ada bangku besi panjang tanpa meja, orang-orang mengantre di luar cafe. Di seberang jalan, di bawah lampu hias kota. Disitu juga ada bangku panjang besi. Duduk seorang diri, orang-orang hilir mudik. Malun merenung, lesu dan capek hari ini dengan pikirannya. Setiap Malun punya masalah, dia biasa kesini, sendiri. Menurutnya, ketika dirinya sedang ditimpa masalah, lebih memilih sendirian. Karena kita bebas berekspresi.