FINAL DAY OF HIGH SCHOOL
Di lapangan, orang-orang berkumpul untuk merayakan setelah berakhirnya ujian, dan juga beribu harapan, doa serta mengucapkan sumpah janji suatu nanti bertemu tak pernah lupa. Fajrin mengatur kaum laki-laki, sedangkan dari kaum perempuan diatur oleh Giska. Dari ujung ke ujung barisan pertama perempuan melingkari barisan laki-laki di dalam. Fajrin berteriak-teriak menggunakan speaker. Setelah semuanya sudah siap, barulah mereka tepukan tangan, sorak-sorai dimana-mana. Perlahan-lahan semuanya bernyanyi Endak Soekamti “Sampai Jumpa” sambil muter pelan-pelan.
Selesai acara, mereka tak lupa mengabadikan momen untuk terakhir kalinya. Perpisahan ini tidak bisa diungkapkan oleh kata-kata. Momen-momen di mana yang awalnya tidak kenal menjadi teman bahkan sahabat, mengenal cinta di sekolah, canda tawa setiap jam pelajaran kosong atau di kantin. Semua menyatu kedalam buku yaitu kenangan.
Ditengah-tengah keramaian. Malun dan Ajeng dipertemukan kembali sekian lama tidak bertemu.
“H—ha—hai Ajeng!” sapa Malun gugup. Kedua mata saling pandang. Keduanya merasakan kecanggungan.
“Hai juga.”
“Apa kabar?”
“Baik. Kamu?” balik bertanya.
“Seperti yang kamu lihat.”
Beberapa detik hening. Ditengah keramaian mereka menyempatkan menanyakan kabar. Malun tahu, semuanya kebetulan saja, tidak direncanakan. Tuhan lebih tahu mereka bertemu di mana selanjutnya.
“Duduk di sana, yuk,” ajak Malun. Mereka kini telah duduk berduaan tiada orang menganggu.
“Nggak kerasa, yah. Udah lulus aja,” Malun memulai. “waktu terlalu cepat.” pandangannya ke depan menyaksikan orang-orang asyik berpoto, berpelukan.
“Mau lanjut kemana?” maksudnya Malun bertanya Ajeng mau lanjut kuliah di mana.
“Jakarta, sebenarnya aku pengen ke Jogjakarta, dari kecil pengen sekali masuk kampus impianku. Pesan papa, aku nggak boleh kuliah jauh-jauh.”
Oh, iya. Malun pernah ngirim ke Ajeng lagi nunggu di luar ruangan ujian. Ajeng menyemangati. Disitu perlahan mulai tumbuh.
Ajeng memejamkan matanya sebentar, berusaha tersenyum meski dadanya sesak. “Papa udah di surga, Lun.”
Malun sontak kaget, baru tahu soal ayahnya sudah meninggal. “Turut berduka cita. Maaf, aku tidak tahu sama sekali kalo .... Paa ....