Malam ini, malam senin tanggal satu suro. Hari di mana makhluk halus keluar dari dunia mereka dan masuk ke dunia manusia. Saat kecil, ibu selalu menjagaku dan tidur di samping. Ibu akan membelai kepalaku sambil memastikan kalau aku tidak ketakutan. Tapi sekarang, ibu menjadi salah satu dari mereka.
Aku menatap ibu yang telah terbungkus pakaian terakhirnya. Pakaian yang selalu aku takutkan. Nyaliku selalu ciut membayangkan pocong bangkit dan berdiri di depanku. Namun untuk saat ini, aku ingin ibu kembali berdiri di depanku, memelukku seperti sedia kala. Entah seperti apa pun bentuknya saat ini.
“Ini semua gara-gara Kiai Makhsus!” desis ayah.
Aku menoleh ke ayah. Wajahnya tertekuk dan giginya bergemeratak, sedang matanya merah. Jarang aku melihatnya menangis. Tapi hari ini, untuk pertama kalinya, aku melihat ada bulir bening yang membasahi pipinya.
Gema adzan dilantunkan. Ayah berdiri gagah di liang lahat ibu. Tangannya menutup satu telinganya. Sesaat kulihat ayah melirik ke ibu lalu dia pun mulai melantunkan adzan.
Sekali lagi, air mataku menetes. Aku tahu ini menyalahi aturan yang ibu buat. Anak lelaki sepertiku tak boleh sekali pun menangis, bahkan jika kehilangan apa pun yang berharga baginya.
“Kamu harus kuat seperti ayah! Anak ibu mana boleh cengeng kayak gini, kalau cengeng nanti siapa yang bakal ngelindungin ibu?” katanya dulu sewaktu aku pulang menangis karena diejek teman.
“Kan ada ayah,” jawabku lugu.
“Ayah kan sering pergi buat ngobatin orang. Ibu maunya dijaga Dalu!” ujar ibu lantas menyentuh ujung hidungku.
Mulai semenjak itu, aku tak pernah menangis. Ketika ada yang menjahiliku, kubalas mereka sampai mereka benar-benar tak menggangguku lagi. Aku terus mempertahankan tekadku itu sampai sekarang. Aku ingin menjaga ibu. Namun sekarang, aku merasa seperti raja yang kehilangan istananya. Aku tidak punya apa-apa lagi. Semua perjuanganku untuk mempelajari ilmu bela diri dan ilmu pengobatan ayah, terasa percuma. Ibu telah pergi, pergi membawa tujuan hidupku. Bahkan bukan hanya itu.
“Pak Badar!” teriak seseorang.
Aku langsung tersadar dari lamunan. Betapa kagetnya aku kala melihat ayah yang ambruk. Tukang gali kubur yang berada di sampingnya seketika saja menahannya agar tidak jatuh.
“Aku tak bisa. Aku tak kuat!” katanya sembari terisak.
Ayah keluar dari liang lahat, dibantu oleh banyak orang. Dia lantas menatapku. “Maafkan ayah, ya!” katanya.
Alih-alih menanggapi ucapan ayah barusan, aku justru mengajukan diri untuk mengadzani ibu. Tanpa ada yang menghalangi, aku masuk ke liang lahat ibu. Sama seperti ayah, aku menatap ibu untuk terakhir kalinya. Kendati wajahnya sekarang sudah tak tampak, ibu tetaplah ibu.
Aku menghirup napas dalam-dalam. Dengan sekuat tenaga, aku melantunkan adzan. Bait demi bait, aku gaungkan dengan gagah. Meski sesekali aku terhenti karena mulutku penuh dengan kesedihan, aku terus melanjutkan adzan.
“Hebat, anak ibu sudah bisa adzan!” katanya bangga ketika selesai jemaah dulu.
Aku berkacak pinggang bangga. Ini kali pertama kalinya aku memberanikan diri untuk adzan di masjid.
“Sebagai hadiahnya, ibu bakalan masakin ikan bakar!”
“Asyik!”