Dapat kulihat gerbang Pesantren Ikhlasul Insan yang begitu megah. Tepat ketika aku masuk ke sana, santri-santri yang tengah menyapu halaman, terhenti sejenak. Sepertinya mereka heran melihatku yang memakai baju kaos hitam dengan celana hitam. Mungkin mereka tidak memasalahkan baju dan celanaku, tapi mungkin mereka tertarik dengan udeng yang aku kenakan. Mungkin beberapa dari mereka mengira kalau aku memakai blangkon, tapi sebenarnya aku hanya memakai udeng – sebuah ikat kepala yang menyerupai blangkon. Atau mungkin mereka tidak memasalahkan penampilanku, melainkan memasalahkan aku yang datang sendirian, sedang santri yang lain datang ditemani dengan wali mereka.
Akhirnya aku sampai di sini, Pesantren Ikhlasul Insan. Aku tak akan menyia-nyiakan pengorbanan ayah. Aku tak akan pernah lupa bagaimana ayah mati-matian mencari keadilan untuk ibu.
"Istri saya dibunuh Kiai Makhsus, Pak! Tolong! Tolong adili dia, Pak!" lapor ayah di depan polisi.
Namun bukannya ditanggapi, polisi itu tertawa. Dia melihat ayah dengan tatapan merendahkan. "Dia itu kiai loh, Mbah! Kiai. Mana mungkin kiai membunuh istri jenengan!"
Mendengar hal itu, ayah menggebrak meja. "Saya tahu dia kiai, tapi apakah kiai nggak bisa salah? Kiai itu yang memberi istri saya rajah sampai dia sakit-sakitan dan membakar dirinya sendiri!"
Polisi di depan ayah ikut berdiri. Dia menepuk-nepuk bahu ayah, mencoba menenangkannya. Ayah pun duduk kembali dan polisi itu tersenyum. "Setahu saya rajah tak ada yang menyakiti, Pak. Rajah ada di Bulan Suro karena dipercaya bisa nangkal jin yang masuk ke rumah. Malah saya tahunya santet dan ilmu hitam yang membuat orang mati," jelas si polisi. Matanya lagi-lagi memandang ayah dengan tatapan mencela.
"Maksud Bapak, ayah saya yang menyihir ibu saya sendiri?" tanyaku tak sabar. Amarahku meledak. Aku tak tahan lagi melihat si polisi yang memperlakukan ayahku dengan semena-mena.
"Bukan seperti itu maksud saya. Yang saya coba jelaskan itu, dalam kasus pembunuhan semua orang bisa menjadi tersangka. Baik itu keluarga atau pun pejabat sekali pun. Itu jika ada bukti. Jika Mbah dan jenengan nggak punya bukti, itu bisa masuk ke pasal pencemaran nama baik," kata si polisi kali ini dengan ekspresi datar dan lurus. Dia lantas mengembuskan napas. "Memang ada Pasal 252 KUHP yang menerangkan tentang tindak pidana tak normal. Sayangnya itu bukan soal rajah tapi soal santet."
Ketika mendengar kata terakhir polisi yang ditekankan itu, aku pun menendang meja. "Maksud Anda, Bapak saya tukang santet? Bapak saya memang dukun. Tapi tak sekali pun dia menyakiti oranh lain. Dia justru yang menyembuhkan orang lewat ilmunya," bentakku kemudian.
"Hei! Hati-hati kalau marah-marah, ya! Anda bisa dikenakan sanksi perusakan fasilitas umum!" kata si polisi.
Ayah pun ikut berdiri. Dia menenangkanku lalu meraih tanganku dan mengajak untuk keluar. Aku awalnya tak mau. Namun ketika aku menatap ayah dan ayah hanya menggeleng, aku pun menurutinya.
Ketika sudah di luar kantor polisi aku melepaskan genggaman ayah. "Aku tahu dari ibu kalau ayah juga bisa jampi-jampi. Aku juga tahu kalau ayah juga bisa pelet dan santet. Kenapa ayah tak gunakan itu? Kenapa ayah memilih untuk dihinakan seperti ini?" tanyaku sambil menunduk. Setelah ibu meninggal, sakit sekali rasanya satu-satunya orang tuaku dihina seperti itu.
"Ilmu ayah ada bukan untuk menyakiti orang, Lu," kata ayah tanpa membalikkan badannya.
Aku menelan ludah. Ini kali kedua aku melihat ayah sakit hati. Seperti biasanya, dia hanya menatap ke depan dan hanya memperlihatkanku punggungnya yang tak sekokoh dulu.
"Biarkan aku yang mencari buktinya di sana, Yah!" kataku lantang.
Mendengar itu, ayah langsung berbalik. Dia menatapku keras. "Tidak! Ayah sudah kehilangan ibumu. Ayah juga nggak bisa kehilanganmu!"
"Tapi aku nggak rela ibu nggak dapat keadilan!" tolakku.