Rajah Hitam

Fasihi Ad Zemrat
Chapter #3

Suara Gaib

Orang bilang hidup itu seperti roda. Kadang di bawah, kadang di atas. Hanya saja mungkin mereka lupa kalau roda juga bisa selamanya di bawah, seperti ketika roda mobil mengalami malfungsi. Roda suatu saat nanti juga akan rusak dan terpakai. Masih bisa digunakan tapi bukan untuk digerakkan, melainkan pajangan. Yang atas tetap di atas dan yang bawah tetap di bawah. Seperti hidupku saat ini. Ketika ibu mati dan sesuatu terjadi dengan ayah, aku rasa hidupku tak akan pernah ke atas lagi. Aku hidup hanya untuk memastikan bahwa Kiai Makhsus merasakan apa yang kurasakan saat ini.

Tak ada yang bilang mudah. Bahkan untuk sekadar balas dendam pun diperlukan yang namanya kesabaran. Hari ini ketika aku sudah mengisi formulir pendaftaran, aku ditempatkan di gedung asrama sementara. Gedung yang katanya biasa hanya digunakan untuk mengaji dan menyambut tamu.

Masing-masing calon santri berkenalan satu sama lain. Hanya saja, aku tidak tertarik dengan semua itu. Aku terus menata barangku dan membuka Kitab Jurumiyyah untuk persiapan. Kitab ini adalah kitab nahwu dasar yang wajib dihafalkan oleh setiap santri. Lalu menurut yang kudengar, kitab ini juga yang menjadi persyaratan untuk bisa masuk pesantren. Setiap santri yang mau masuk ke Pesantren Ikhlasul Insan paling tidak harus hapal 3 bab awal Kitab Jurumiyyah. Tentu ada juga persyaratan lain seperti hapal juz 30 dan lulus tes.

"Eh kamu tahu nggak kalau Kiai Makhsus punya anak perempuan yang cantiknya Masya Allah!" celetuk seorang santri.

Aku yang masih fokus dengan kitab pun menengok ke arah mereka.

"Oh andai aku bisa menjadi menantu Kiai Makhsus," lanjut santri itu.

Teman di sebelahnya tertawa sambil menepuk punggungnya. Kentara sekali kalau mereka sudah akrab. Mungkin mereka berasal dari daerah yang sama.

"Kalau mimpi jangan ketinggian. Udah tahu kamu bukan Gus, jangan ngarepin dapetin Ning. Anak kiai ya harus dapatin kiai. Masa dapatin kita-kita yang cuma anak tani," jawab temannya tadi.

"Bilang aja kamu mau dapatin Ning Wening juga, kan?" tebak si santri sambil tertawa. "Semua orang juga tahu kalau berpuluh-puluh lamaran dari orang terkenal, sudah ditolak sama Kiai Makhsus. Siapa tahu kiai mau jodohin Wening sama santrinya sendiri," lanjutnya.

"Nggak. Aku cukup sadar diri. Mana pantes aku bersanding sama anak semata wayang Kiai Makhsus. Lagian kalau kamu mau bener-bener bersanding sama Ning Wening, minimal wajahmu benerin dulu. Tampang preman gitu kok mau bersanding sama keluarga kiai."

Mereka berdua pun sama-sama tertawa. Sementara aku kembali memandangi kitab. Perkataan dua calon santri itu membuatku berpikir. Seringkali aku mendengar kalau cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya. Jika demikian pastilah seorang ayah sangat mencintai anak perempuannya juga. Pasti akan sangat indah jika aku bisa merebut hati Wening dan mematahkannya di hadapan Makhsus.

*** 

Malam datang. Ujian sudah digelar dari tadi sore dan langsung diumumkan siapa yang lulus dan juga gagal. Mereka juga langsung mendapatkan tingkatan kelas masing-masing. Ada 8 kelas. Empat tingkatan kelas awaliyah, dua tingkatan kelas wustho, dan dua tingkatan kelas ulya. Dan setiap santri yang sudah punya bekal, bisa saja langsung masuk ke kelas 3 awaliyah atau mungkin bisa langsung ulya. Tergantung dari bagaimana mereka sudah bisa membaca kitab kuning.

Aku menghela napas. Beberapa santri sudah ada yang pulang karena tak memenuhi persyaratan. Beberapa juga sudah ada yang berpindah ke kamar yang disediakan. Aku dengar di sini, setiap kamar tidak hanya dihuni oleh santri baru melainkan santri lama juga. Katanya tujuannya agar yang lama menunjukan budaya pondok di sini seperti apa.

Sejenak aku memejamkan mata. Dadaku masih terasa sesak sejak kejadian itu. Ular yang masuk ke mulutku bukan ular biasa. Aku dapat merasakan gumpalan energi yang menempel dalam diriku.

Sejak malam itu, semuanya berubah. Aku bangun di atas ranjang. Ayah tepat di sampingku. Matanya tampak sendu.

"Apa yang sudah kamu lakukan, Dal?" tanya ayah.

Aku menatap ayah tak mengerti.

"Kenapa kamu lakukan itu?" tanyanya dengan nada kecewa.

Seketika aku bangun. Alisku bertaut pun begitu juga dengan keningku yang ikutan berkerut. Aku tak mengerti dengan apa yang ayah katakan.

Lihat selengkapnya