Rajah Mimpi

Athoillah
Chapter #2

Satu

"Kalian tahu, apa alasan sesungguhnya Gus Faisal melarang kita belajar ilmu gaib?" tanya Gus Robi. Suaranya nyaring dan lantang, terdengar hingga ke sudut warung yang paling jauh.

Beberapa santri terlihat menoleh ke arahnya sambil berjengit, seolah baru saja mendengar kosa kata yang terlarang untuk diucapkan. Beberapa lainnya, yang nampak lebih senior, melotot ke arahnya, dengan sorot mata memperingatkan.

Namun dia tidak memperdulikan tatapan-tatapan itu. Tangannya mencengkram sayap ayam bakar yang berlumur bumbu kacang, dengan banyak sekali irisan bawang dan cabe, lalu sekejap kemudian mulutnya sudah sibuk mengunyah. Dengan penampilan dan gaya duduknya --satu kaki terangkat menginjak bangku khas pengunjung warung di tegalan sawah, dia adalah orang paling mencolok di kantin ini.

Gus Robi adalah putra seorang kiai terkenal, pengasuh pondok pesantren besar dengan ribuan santri. Dengan menyandang nama besar abahnya, sudah selayaknya dia mendapatkan penghormatan yang tinggi dari santri-santri sini. Nyatanya tidak demikian. Orang-orang justru banyak yang meremehkan dan bahkan kerap menjadikannya bahan candaan. Dan itu bukan sepenuhnya salah mereka.

Memang, jika kita hanya berpatokan pada penampilan fisik, sulit untuk menaruh rasa hormat terhadapnya. Dia bertubuh jangkung, kurus dan memiliki semua tanda yang lazim ditemukan pada seorang pecandu narkoba. Lebih dari semua itu, yang paling membuat orang muak adalah melihat gaya rambut poni lemparnya, yang berjuntai dari dalam peci dan menutup dahi serta sebagian mata. Poni itu seakan mengundang orang untuk datang dan menjambaknya.

Selesai dengan sayap ayamnya, Gus Robi mencecap dan menjilati sisa bumbu pada ruas jari-jarinya yang kurus, panjang dan hampir menyerupai ranting bambu. Sesaat kemudian, setelah bersendawa agak keras, dia terlihat hendak membuka suara, kemungkinan akan melanjutkan pertanyaannya yang berbahaya.

Penceng nampaknya segera menyadari gelagat itu. Dia memberi isyarat kepada Repo, yang duduk persis di samping Gus Robi, untuk membungkam mulutnya. Repo langsung paham isyarat itu dan dengan senang hati melakukannya. Gus Robi berontak dan mereka terlibat dalam pergumulan seru. Repo nampak unggul dengan badan gempalnya. Sedangkan Gus Robi meronta layaknya seekor kambing yang hendak diseret menuju lubang penjagalan.

Kali ini orang-orang bukan hanya sekedar menengok. Beberapa bahkan nampak berdiri dalam kerumunan. Seperti biasanya, sore itu Kantin Perubahan sedang penuh santri. Namun begitu menyadari sumber kegaduhan itu mereka langsung kembali ke tempat duduknya masing-masing, dengan raut kecewa, karena waktu dan perhatian mereka sempat tersita untuk sesuatu yang sia-sia. Kebanyakan dari mereka maklum, sedari dulu Gus Robi adalah pembuat onar nomor satu di pesantren ini. Para keamanan saja sudah angkat tangan menghadapinya.

Pergumulan itu berakhir setelah Gus Robi berhasil menendang Repo hingga nyaris masuk ke dalam got. Repo meringis menahan sakit, tapi matanya nampak tersenyum. Dia memang jatuh tersungkur tapi agaknya dia merasa telah mengungguli Gus Robi. Pasalnya, tadi ketika membekap mulut Gus Robi tangannya masih berlumur sambal kacang.

Gus Robi, yang kemudian menyadari hal itu karena panas dan perih yang menjalar di wajahnya, bergegas lari ke kamar mandi. Irisan bawang dan cabe bertengger di kumis dan pipinya. Sepanjang jalan, sumpah serapah dan makian-makian kotor tumpah ruah dari mulutnya.

Lihat selengkapnya