Rajah Mimpi

Athoillah
Chapter #3

Dua

"Ini salahmu, Po!" Kata Penceng, dengan suaranya yang lirih, berat dan terdengar nyaris seperti sedang berkumur. Tangan kirinya bersandar pada bingkai jendela, sementara pandangannya yang syahdu menerawang; menembus pagar seng, hamparan sawah dan rumpun bambu di kejauhan. Terkadang dia berjalan mondar mandir, dengan satu tangan terlipat di balik punggung, dan satunya memegang dagu, dan dahi berkerut layaknya seorang filsuf bijak bestari yang menyesali kebodohan umat manusia.

"Kali ini dia benar-benar marah." Barangkali karena capek dengan aksi-aksi teatrikal tidak jelasnya, Penceng akhirnya duduk saja di ambang jendela.

"Biarkan saja," kata Repo, tanpa mengalihkan perhatiannya pada Kitab Fathul Muin di atas pangkuannya.

Siang itu Repo sibuk nambal, menyalin makna gandul dari kitab milik santri lain. Karena lembar-lembar kitabnya sendiri banyak yang bolong. Sebenarnya kitab milikkku dan Penceng lebih parah lagi bolongnya. Kami berdua bisa lebih santai karena memiliki ketabahan hati dan kesanggupan untuk ngebut mengerjakannya pada injury time. Kurang dari satu bulan lagi kami akan menghadapi Taftisul Kutub, pemeriksaan kelengkapan makna gandul. Tidak semuanya diperiksa, hanya sumber belajar utama, sebagai persyaratan untuk mengikuti ujian kenaikan tingkat atau kelulusan.

"Kau harus tanggung jawab, Po!" Desak Penceng.

"Mana bisa begitu. Kemaren kamu yang tertawa paling keras. Lagipula kan kamu yang memulai."

"Iya, tapi yang kamu lakukan itu sudah keterlaluan. Bagaimanapun juga dia itu putera kiai, Po. Orang yang harus dimuliakan dan dijunjung tinggi kehormatan serta maruahnya. Bisa-bisanya kamu melumuri mukanya dengan sambal kacang. Kamu pikir beliau sayap ayam."

Penceng berhenti untuk mengambil napas.

"Kalau-kalau kamu lupa, Po, dalam Kitab Taklim, Syaikh Zainuri pernah berkata, termasuk memuliakan ilmu adalah memuliakan ahli ilmu. Memuliakan keluarga, keturunan bahkan kendaraan dan tempat tinggal mereka.

"Pengarang Taklim itu Syaikh Az-Zarnuji, Ceng..." Kata Repo.

Penceng mengabaikan koreksi itu, dan melanjutkan: "Kalau-kalau kamu lupa atau belum tahu, Po, dulu Imam Malik pernah tiba-tiba berhenti dan berdiri di tengah-tengah pengajian. Beliau melakukannya cukup lama hingga murid-muridnya menjadi heran dan kemudian bertanya, mengapa Anda melakukan hal itu? Dan kamu tahu apa jawabnya? Beliau menjawab, aku berdiri untuk menghormati putra guruku, beliau sedang bermain di halaman masjid."

Cerita semacam itu ada di dalam Kitab Taklim. Aku yakin sekali soal itu. Hanya saja, pada saat itu, aku tidak bisa memastikan apakah memang benar hal itu dilakukan oleh Imam Malik atau bukan. Kurasa Penceng tidak akan repot mengkroscek kebenaran ucapannya.

Repo agaknya merasa jengah juga dengan serangan-serangan itu. Pada akhirnya dia meletakkan bolpoinnya dan mulai membalas. "Kamu benar, Ceng." katanya. "Aku mau tahu juga, dari kitab apa kau mengambil dalil untuk kata-katamu yang kemarin."

"Kata-kata apa?"

"Kalau-kalau kau lupa, Ceng. Kemarin kau bilang 'Kapan lagi kita bisa mengerjai putra kiai besar', sambil tertawa ngakak. Apakah itu juga ada di kitab Taklim?"

"Jangan menyebar fitnah, Po. Mana mungkin aku mengatakan hal sekeji itu. Ahsan, kau saksinya. Apakah sahabatmu yang alim dan saleh ini pernah kau dengar mengatakan dan melakukan tindakan biadab tersebut?"

"Ya, pernah," jawabku.

Lihat selengkapnya