"Duduk sini!" Kata Gus Robi. "Mana Penceng dan Repo?"
"Mereka di kamar, Gus."
"Biarkan saja. Sekarang ini, aku tidak butuh mereka."
"Kau bisa baca kitab gundul, kan?"
Itu adalah jenis pertanyaan yang sulit dijawab, terutama oleh seorang santri, seberapa pun lamanya dia telah tinggal dan belajar di pondok.
"Bisa apa tidak? Jangan jadi goblok! Kau sudah kelas tiga Aliyah, kan. Jika kau saja tidak becus baca kitab lalu bagaimana dengan santri-santri di bawahmu! Dari dulu sudah kubilang, pondok ini harusnya dibubarkan saja. Santri dan guru-gurunya goblok semua. Dan kau sendiri, apa saja kerjamu selama ini, hingga kemampuan paling dasar saja tidak bisa kaukuasai. Mending kau boyong saja. Ternak kambing di rumah. Kau pikir bapakmu kirim uang tiap bulan ke sini hanya agar bisa melihatmu semakin gemuk dari tahun ke tahun."
"Saya bisa, Gus." Jawabku, cepat, agar dia berhenti merepet. Brengsek. Kenapa rambut talang air ini harus bawa-bawa bapak segala.
"Bagus," katanya. "Itu jawaban yang ingin kudengar."
Gus Robi mengangsurkan sebuah kitab yang agak tebal, dibungkus sampul dari kalender lama bergambar kucing Angora.
"Bacakan kitab itu untukku!" perintahnya.
Aku menerimanya dengan agak gemetar. Aku yakin ada sesuatu yang tidak beres. Sebab, orang tidak akan perlu repot-repot menutup sampulnya jika memang itu kitab biasa. Bahkan tanganku menolak untuk membukanya.
"Kitab apa ini, Gus?"
"Buka saja, dan jangan banyak tanya," desaknya.
Begitu membukanya, aku berjengit kaget dan tanganku reflek melemparnya ke pangkuan Gus Robi. Itu adalah Kitab Syamsul Ma'arif Kubro. Salah satu dari deretan kitab yang dilarang di pondok ini. Dengan memegangnya saja aku bisa terancam takzir berdiri di depan mushala.
"Kau sudah gila!" Dia mengembalikan kitab itu ke pangkuanku. "Lempar kitab sembarangan. Ini ilmu juga isinya. Kau tidak pernah belajar Taklim?"