Kang Jabir berdiri tepat di hadapanku. Matanya menyipit. Dahinya berkernyit. Dagu dan sudut bibirnya, yang kanan, terangkat. Pahit.
Dengan terus mendekap kitab itu di dada, aku berupaya membangunkan Gus Robi, menggoyang pahanya dengan lututku. Aku tidak mau menghadapi neraka ini sendirian. Dia harus ikut tanggung jawab. Namun, sekeras apapun aku mengguncang tubuhnya bangsat talang air itu tidak mau bangun, hanya menggeliat, mengusap iler dengan punggung tangan lalu berganti posisi, miring membelakangiku. Keparat!
"Biarkan saja dia tidur," kata Kang Jabir. "Kitab apa itu?"
Aku tergagap, kehilangan kata. Seperti orang dungu. Bahkan untuk berbohong pun aku tidak sanggup. Semua perbendaharaan nama-nama kitab seolah lenyap, terhapus dari kepalaku. Keringat sebesar jangung-jangung menderas dari pelipis dan leherku.
"Tunggu, tunggu...! Aku tahu. Biar kutebak. Ah, kalau melihat dari ketebalannya itu pasti kitab Hikam. Iya kan?
"Iya, Kang," kataku, cepat.
Kang Jabir tertawa girang. "Soal kitab dan buku-buku, aku adalah ahlinya. Kau tahu, dulu kawan-kawan satu angkatan menjuluki ahli kitab."
"Iya, Kang. Saya pernah dengar soal itu. Sampean memang benar-benar ahli kitab. Satu-satunya ahli kitab di pondok ini." Napasku berangsur kembali normal. Dan tidak ada yang dapat kupikirkan selain memujinya setinggi langit.
"Tidak begitu juga. Meskipun kemampuan kitabku di atas rata-rata, tapi aku bukan satu-satunya. Pepatah mengatakan, dii atas gunung masih ada awan, dan di atasnya masih ada langit, di atasnya masih ada langit lagi. Jadi kita tidak boleh sombong. Kau harus pegang kata-kata itu."
"Iya, Kang. Saya akan selalu ingat itu."
"Bagus! Aku suka, sangat suka, ternyata di pondok ini masih ada santri seperti dirimu, yang di waktu senggangnya tetap mau membaca kitab. Kalau melihat santri sekarang ini, aku merasa miris. Tradisi mutalaah perlahan-lahan mereka tinggalkan. Coba lihat, di kantin-kantin, apa yang mereka bahas? Bukan ilmu. Mereka hanya peduli pada bola. Setiap saat yang mereka bicarakan adalah pertandingan bola. Nama-nama pemain bola mereka hapal luar kepala. Tapi jika ditanya nama pengarang kitab, mereka tiba-tiba menjadi orang dungu. Tidak tahu apa-apa. Oh ya, kitab yang kau pegang itu, siapa nama pengarangnya?"
"Pengarang kitab ini...Syaikh Al..."
"Al siapa...?"
"Maksudku Ibnu Athoillah Assakandari" Brengsek! Hampir saja aku keceplosanmenyebut nama Al-Bunni.
"Ah, saya suka. Sangat suka. Kau tidak lupa nama pengarang kitab yang sedang kau baca."
Kang Jabir duduk di sampingku. Reflek aku bergeser menjauh.
"Kebetulan aku sedang longgar siang ini. Tidak ada salahnya aku ikut mendengarkan bacaan kitabmu. Siapa tahu aku bisa memberikan masukan-masukan yang penting untuk kemajuanmu. Kau tidak keberatan kan?"