Setelah kejadian keparat di gazebo Kantin Njoto itu aku jadi sering merasa was-was sendiri. Bagaimanapun juga, kalimat terakhir Kang Jabir adalah ancaman yang seterang-terangnya. Hampir mustahil dia tidak menyadari apa yang kulakukan saat itu. Sedangkan fakta bahwa bangsat itu tidak langsung menangkapku, bisa jadi, adalah penglulu, pembiaran dengan sengaja, agar kesalahan yang kulakukan semakin bertumpuk dan takzir yang kelak kuterima jadi makin berat. Brengsek betul dia.
Tapi, untuk sementara, kita bisa mengesampingkan persoalan itu dulu, dan bergeser pada hal lain: sesuatu yang agak ringan dan tentunya menyenangkan. Setidaknya itulah yang kubayangkan pada mulanya.
Hari Jumat itu aku ada janji dengan Kang Kumed, seorang khadam --pembantu kiai --bagian kebersihan. Dia tergolong santri senior, angkatan tiga atau empat tingkat di atasku. Kami menjadi dekat dan kemudian akrab karena sama-sama pengunjung tetap perpustakaan pondok. Dia menggemari buku-buku sastra, khususnya sastra Arab, dan pernah menjadi pengagum berat Kahlil Gibran, sampai dia tahu bahwa penyair Lebanon itu ternyata bukan orang Islam, dan bukan pula orang yang menulis puisi favoritnya. Dan kekaguman itu berawal dari sesuatu yang agak menggelikan.
Suatu hari dia menemukan penggalan puisi --begitu dia menyebutnya --pada lembar undangan pernikahan, yang menyantumkan nama Kahlil Gibran pada bagian bawahnya. Dia begitu terpesona dengan kalimat itu, sampai hapal di luar kepala, dan mengulang-ulangnya hampir setiap waktu:
"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu..."
Selama bertahun-tahun setelahnya, dia menghabiskan begitu banyak waktu, membaca belasan buku Kahlil Gibran --yang tersedia di perpus pondok --untuk mencari judul dan kelanjutan dari puisi itu. Kalian jelas tahu, apa yang dia lakukan sama sia-sianya dengan mencari potongan kikil dalam semangkuk soto ayam.
Sehari-hari, tugas rutin Kang Kumed adalah mengumpulkan sampah dari kompleks asramah putri, dan membawanya ke bank sampah untuk dipilah. Tugas serupa, di komplek asramah putra, dikerjakan secara bergiliran oleh santri piket. Kadang-kadang dia diutus membersihkan ndalem agung. Waktunya tidak pasti, kadang setiap dua minggu sekali, menjelang hari-hari besar, atau ketika akan ada tamu penting.
Ndalem Agung adalah rumah utama yang menjadi kediaman pengasuh pondok. Letaknya persis di samping mushala, dan berdekatan dengan asramah ketujuh. Meskipun disebut ndalem agung, rumah itu sama sekali tidak besar, juga tidak bagus-bagus amat, nampak seperti kebanyakan rumah di kampung-kampung. Namun, istimewanya, rumah itu menjadi semacam rumah dinas bagi para pengasuh pondok, yang telah diturunkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya, dimulai dari masa Kiai Astaman.
Berdasarkan tradisi tersebut, secara resmi rumah itu seharusnya menjadi kediaman Gus Faisal. Tapi, karena berbagaimacam pertimbangan, beliau tidak tinggal di sana, dan menggunakannya hanya untuk menerima tamu-tamu penting.
Setahuku, tidak banyak santri yang pernah masuk ke dalam sana, apalagi sampai melewati batas ruang tamu. Santri yang sudah mondok belasan tahun pun belum tentu pernah melihat bagian dalam kamar mandinya.
Kang Kumed sering bercerita tentang rumah itu, prabotan kuna, barang-barang antik, juga pajangan-pajangan yang menurutnya bernilai seni tinggi dan menyimpan kisah-kisah yang dahsyat. Hal terakhir itulah yang menarik minatku. Beberapa kali aku menyampaikan keinginanku untuk ikut masuk ke sana ketika dia sedang bersih-bersih. Tapi dia selalu bilang, belum saatnya, atau waktunya kurang tepat. Hingga kira-kira satu Minggu yang lalu, ketika aku sudah hampir lupa dan tidak pernah lagi menyatakan keinginan itu, dia tiba-tiba mengajakku masuk ke sana.
Pagi itu aku menunggunya di teras mushala. Dia bilang akan datang sekitar pukul sembilan pagi. Lumayan, kami punya waktu dua jam di dalam sana, sebelum tarhim shalat Jumat berkumandang.
Pada jam segitu, di hari Jumat pula, suasana mushala benar-benar lengang. Tidak ada seorang pun berada di dalam. Di teras hanya ada aku dan Jamil Gudik. Orang itu memang agak lain. Hampir setiap hari, dari pagi hingga sore, dia berada di teras mushala, duduk saja, memandangi pohon jambu air di depan ndalem, menunggu kalau-kalau ada daun jatuh dan memungutnya. Hanya itu yang dia lakukan. Tidak ada yang lain.
"Maaf, San. Aku terlambat." Kata Kang Kumed. Dia datang tepat pukul sembilan lebih dua puluh tiga.
"Tidak masalah, Kang." Jawabku. Meskipun, sebenarnya, sejak lonceng pukul sembilan berdentang, setiap barang dua menit, aku selalu menengok ke jam besar di mushala. Ketar-ketir. Khawatir dia tidak datang, atau tetiba membatalkan rencana.
Lagipula memang tidak ada hal lain yang bisa kulakukan. Meskipun duduk bersebelahan, Jamil Gudik bukan teman bicara yang asyik. Selama aku mondok di sini, belum pernah kudengar atau kulihat dia berbicara dengan siapapun.
"Ayo," ajak Kang Kumed. "Banyak yang harus kita kerjakan." Dia berjalan cepat menuju ndalem, yang berjarak sekitar sepuluh meter dari teras mushala, tangannya menenteng sapu dan kemoceng.
Aku jalan bergegas mengikutinya, hampir bersamaan dengan Jamil Gudik, yang juga bergerak maju, menyongsong beberapa helai daun jatuh dan memungutinya.
Ketika hendak melewatinya, aku merasa dia memanggilku, dengan suara yang terdengar seperti desau angin. Aku berhenti dan mengawasinya. Dia melihatku dengan sorot mata yang tidak terjelaskan, sedangkan mulutnya setengah terbuka, seolah hendak mengatakan sesuatu tapi ragu-ragu. Jika ada orang yang tidak berbicara kepada siapapun selama bertahun-tahun, lalu tiba-tiba dia terlihat ingin mengatakan sesuatu kepadamu, tentunya hal itu berkaitan dengan sesuatu yang penting. Barangkali sebuah peringatan atau apa. Karena itu aku menunggu. Tapi dia tetap tidak mengatakan apa-apa, hingga Kang Kumed memanggilku dari ambang pintu ndalem, menyeru agar aku bergegas.
"Rumah ini sudah berusia ratusan tahun," kata Kang Kumed. Lagaknya tidak kalah dari pemandu wisata di Borobudur.