Ada banyak mushala di pondok ini. Semua asramah, kecuali asramah ketujuh, memiliki ruang tersendiri yang difungsikan sebagai mushala. Pada masanya ruang-ruang itu pernah digunakan untuk kegiatan shalat berjamaah, sebelum ditertibkan oleh Kiai Sepuh dan dikumpulkan jadi satu di mushala agung. Alasannya, setiap ketua asramah memiliki kebijakan tersendiri terkait shalat jamaah, ada yang melaksanakannya di awal waktu, ada juga yang mengakhirkannya. Sehingga tidak sedikit santri yang menjadikan kondisi itu sebagai alasan terlambat menghadiri pengajian umum.
Shalat maktubah berjamaah adalah kegiatan yang paling diutamakan di pondok ini, tercantum pada urutan kedua peraturan pondok, setelah "Melaksanakan syariat agama Islam di dalam maupun di luar lingkungan pondok". Pelanggaran atas aturan itu, tiga kali berturut-turut tanpa uzur syar'i, memiliki sanksi yang cukup berat, dibotaki dan dihukum berdiri seharian di tengah lapangan.
Pada masa awal penerapannya, seorang santri mencoba melakukan protes atas peraturan itu. Santri itu (tidak perlu kusebut namanya) adalah anak yang cerdas dan bisa dibilang kecanduan belajar. Kebiasaan mendaras kitab sampai dini hari membuatnya susah sekali dibangunkan hingga kepotan jamaah subuh. Dengan pertimbangan prestasi dan catatan pelanggaran yang nihil, para keamanan sebenarnya telah memberikan banyak kelonggaran. Namun, karena terlalu sering tidak ikut jamaah maka, demi mengindari kecemburuan santri lain, dia dibawa ke majlis tahkim.
Namun, majlis tahkim yang beranggotakan ustadz dan santri-santri senior dibuat kalang kabut olenya. Santri itu merasa tidak bersalah dan menolak untuk ditakzir. Dia berargumen bahwa aturan wajib jamaah bertentangan dengan peraturan di atasnya. "Mewajibkan sesuatu yang tidak wajib adalah haram dan karena itu batal secara syariat," katanya, lalu menyitir ibarat dari kitab Sulam Taufiq. Menurutnya, hukum shalat berjamaah adalah Sunnah. Dengan menjadikannya wajib berarti membuat perkara yang baru dalam agama. Bidah.
Para keamanan dan anggota majelis tentu sudah akrab dengan ibarat tersebut, dan sebenarnya tidak sulit bagi mereka untuk mematahkan argumen itu. Namun, barangkali karena santri itu menyampaikannya dengan sangat meyakinkan, dengan tekad baja untuk membela kebenaran dan menegakkan keadilan, maka argumen itu jadi terdengar kokoh dan tidak tergoyahkan. Akhirnya persoalan itu dibawa ke hadapan Kiai Sepuh. Beliau enteng saja menanggapinya. "Ya sudah," kata beliau. "Mulai hari aku membebaskanya dari semua aturan pondok." Yang berarti bahwa santri itu telah dikeluarkan dari pondok.
Keesokan harinya --entah ada hubungannya dengan peristiwa itu atau tidak--sebelum memulai pengajian pagi, beliau dawuh, berpesan kepada santri-santri agar mendahulukan adab sebelum ilmu. "Orang dianggap keluar dari agama ini bukan karena banyak berbuat maksiat, melainkan karena menolak hormat," kata beliau.
Kiai Sepuh sendiri sangat mengutamakan shalat berjamaah. Dulu, sebelum kesehatannya mengalami kemunduran, beliau sendiri yang menjadi imam shalat maktubah. Bahkan ketika bepergian, yang jarang sekali dilakukan, beliau selalu membawa satu atau dua santri, agar bisa diajak shalat berjamaah di perjalanan.
Setelah Kiai Sepuh menyatakan mundur dari kepengurusan pondok, Gus Faisal tetap mempertahankan aturan itu. Hanya saja tanggung jawab imam jamaah dipikul secara kolektif melibatkan anggota keluarga dan santri-santri senior. Gus Faisal sendiri tidak selalu berada di pondok. Di luar sana, Beliau banyak berkecimpung dalam organisasi ini dan itu, juga menjadi penasehat bidang keagamaan di beberapa instansi pemerintahan. Meski begitu, Beliau tetap mengampu pengajian rutin setiap bakda subuh di mushala agung.
Di pondok ini mushala agung menjadi pusat kegiatan santri yang bersifat umum seperti jamaah, pengajian rutin dan peringatan hari besar. Dan meskipun disebut mushala agung bangunan itu tidak besar. Ruang utama hanya mampu menampung sekitar tiga ratus santri. Itu pun sudah berjejal-jejal: paha bertemu paha, siku beradu pinggang, dan ketika sujud ujung kepala menyeruduk pantat. Berada di sana, menjelang waktu shalat, terasa seperti memasuki sarang lebah; suara orang melalar nadhoman, membaca Qur'an, dan ngerumpi berdengung jadi satu, dan menggetarkan gendang telinga.