Yang mula-mula beraksi adalah Repo. Sambil duduk, dan dengan tasbih masih di tangan, ia menggeram beberapa kali. Matanya melotot lebar, seakan hendak melompat dari ceruknya. Lalu perlahan-lahan ia berdiri. Tangannya mencakar ke segala arah, membuat barisan di dekatnya porak-poranda. Mula-mula beberapa anak kecil tertawa melihat keganjilan itu, sampai akhirnya mereka menyadari kegawatan dalam situasi itu dan menjadi panik lalu lari kocar-kacir menghindarinya.
Kegaduhan itu menjadi sebuah kegemparan ketika Penceng, yang duduk hanya beberapa langkah di belakang Repo ikut pula berdiri. Mula-mula dia melempar peci, menjambak rambutnya sendiri lalu menjerit histeris. Dengan beringas, seolah mendapat pinjaman kekuatan dari iblis, dia mengoyak baju kokonya, menarik lepas sarungnya, dan berlompatan kian kemari hanya dengan celana dalam.
"Kesurupan...! Ada yang kesurupan!" Teriakan itu mula-mula dilontarkan oleh Gus Robi, lalu diteruskan oleh santri-santri lainnya, menggema dari ujung ke ujung, menarik kerumunan orang untuk datang mendekat ke sumber kekacauan.
Meski begitu, selain berkerumun dan menonton, hampir tidak ada yang mereka lakukan. Di sinilah letak kejeniusan rencana Gus Robi. Aku terpaksa harus mengakui hal itu. Mengobati orang kesurupan barangkali adalah soal yang sangat mudah bagi kebanyakan santri sini. Termasuk membedakan apakah seseorang benar-benar kesurupan jin atau hanya pura-pura. Namun, baik yang pertama maupun yang kedua sama-sama tidak akan mereka lakukan. Sebab, dengan melakukan salah satu atau keduanya mereka telah melanggar peraturan pondok. Jadi, sejauh ini, yang dapat mereka lakukan hanyalah berkerumun, membentuk pagar lingkaran, dan sebisa mungkin mencegah agar kedua santri itu tidak bertindak terlalu jauh atau melukai santri-santri yang lebih kecil.
Gus Robi segera berlari menjauh dari kerumunan, setelah memberikan isyarat kepadaku untuk mengikutinya, menuju pos induk keamanan. Inilah inti dari inti rencananya. Aku berjalan dengan langkah-langkah cepat, memutari asramah sepuluh dan bersembunyi di belakang bangunan pos induk, sementara dia berusaha meyakinkan sekitar delapan personel keamanan yang berjaga di depan agar segera mengambil tindakan terhadap Repo dan Penceng.
"Gawat, Kang! " Katanya. "Seorang santri cilik tertangkap dan dicekik sampai megap-megap."
Itu jelas bohong dan mengada-ngada. Sejauh itu Repo hanya mencakar pohon dan metaung-raung. Sedangkan Penceng lebih banyak menyakiti dirinya sendiri. Tapi, para keamanan itu termakan oleh omongan Gus Robi dan bergegas lari menuju TKP. Mula-mula mereka meninggalkan dua orang untuk berjaga di gerbang. Namun selang beberapa waktu kemudian, barangkali karena tidak tahan didera penasaran, mereka mengikuti kawan-kawannya.
Selanjutnya adalah bagianku. Begitu pos induk kosong aku menerobos masuk, langsung ke lantai dua, menuju gudang arsip. Dan benda sialan apakah yang kucari di tempat terkutuk itu, yang membuat Gus Robi harus merancang rencana gila yang penuh risiko ini? Untuk memahami hal tersebut, kita harus kembali ke peristiwa pada malam sebelumnya.
Jadi, setelah peristiwa dengan Kang Kumed tempo hari, aku punya tugas tambahan pada malam hari, selepas kegiatan Diniyah di madrasah, yaitu membacakan kitab bagi Gus Robi. Selain Syamsul Ma'arif Kubro, dia menambahkan dua kitab lain, yaitu Al-Aufaq karya Al-Ghazali dan Manbaul Ushul Hikmah, karya Al-Bunni lainnya.
Kami melakukan hal itu di dalam kamar tertutup, selepas pukul sebelas, dengan pencahayaan ala kadarnya dari lampu senter mainan, sementata Penceng dan Repo berjaga di depan pintu, kalau-kalau ada keamanan ronda. Jika malam sedang cerah-cerahnya dan cahaya bulan cukup terang untuk bisa melihat koin perak di dasar got, maka kami akan pindah ke atap dapur umum, yang digunakan sebagai tempat menjemur pakaian. Pada malam semacam itu, atap jemuran menjadi tempat tidur favorit bagi mereka yang ingin ngobrol sampai jauh malam, menghindari sorot lampu senter dan sabetan rotan keamanan. Apalagi di atas sana tidak ada nyamuk, dan udaranya pun relatif sejuk. Nah, tugas Penceng dan Repo adalah mengusir orang-orang itu.
Selama beberapa malam itu semuanya berjalan dengan lancar. Hampir tidak ada halangan yang berarti. Penceng dan Repo menjalankan tugasnya dengan sangat baik. Masalahnya justru ada pada Gus Robi. Ketika aku mulai membaca, Gus Robi langsung mulai mengantuk. Dia tidak pernah bisa bertahan hingga setengah halaman. Namun ketika aku berhenti dia langsung bangun dan minta dilanjutkan. Itulah yang selalu terjadi. Setiap malam. "Aku tidak bisa belajar apa-apa," kata Gus Robi. Dia bilang caraku menerangkan membosankan dan suaraku mengandung obat tidur dosis tinggi.
Sebenarnya aku tersinggung juga karena ucapan itu. Dan, ketika aku minta diganti oleh Penceng atau Repo, dia menolak. Alasannya tidak jelas. Padahal bacaan kitab mereka lebih lihai dariku. Menjengkelkan sekali. Kalau saja dia bukan seorang Gus, putra kiai terkenal, sudah kusentil mulutnya yang tipis dan monyong itu.
Setelah beberapa malam, akhirnya Gus Robi memutuskan untuk menghentikan kegiatan yang sia- sia dan melelahkan itu. "Goblok kalian semua. Kalau diteruskan seperti ini, sampai nabi Isa turun lagi pun aku tetap tidak bisa apa-apa."
Sebenarnya ada cara yang mudah dan sederhana, yang tidak perlu merepotkan siapapun, yaitu jika Gus Robi mau membaca sendiri kitab-kitab itu dan mempraktikkannya, selembar demi selembar, dengan tekun. Dengan cara tersebut, kalau tidak jadi gila, dalam lima tahun dia sudah menjadi dukun sakti. Kukira itulah yang dilakukan oleh orang-orang sakti zaman dulu.
"Kita harus belajar ilmu ini dari yang ahli," kata Gus Robi.