Bendel laporan itu ada di atas meja, terbuka tepat pada bagian yang kucari: daftar nama orang-orang yang disumpah. Sebuah kebetulan yang aneh dan menakutkan. Kebetulan yang terlalu kebetulan untuk bisa disebut kebetulan. Sehingga orang paling tolol sekalipun akan berpikir pasti ini jebakan. Tapi, siapa yang melakukannya dan untuk apa?
Aku tidak sempat memikirkannya pada saat itu. Yang jelas, siapapun yang mungkin melakukannya hanyalah anggota keamanan, dan dia sudah tahu rencana Gus Robi. Namun, saat itu aku seperti tidak punya pilihan lain kecuali menggigit umpan itu. Maka, kusobek beberapa lembar, kuremat dan kumasukkan dalam lipatan sarung, lalu berjalan turun.
Sudah terlambat bagiku untuk bisa keluar dari pos induk tanpa ketahuan keamanan. Suara berisik mereka terdengar tepat di depan pintu. Tinggal menunggu waktu saja hingga salah satu dari mereka membuka pintu dan menemukanku. Aku benar-benar kehilangan akal untuk bisa keluar dari ruangan itu dengan selamat. Langsung membuka pintu dan berjalan keluar begitu saja bisa berarti tindakan yang terlalu frontal, dan mungkin akan memancing emosi. Aku kenal seorang santri yang pernah keluar dari ruangan ini dengan muka bonyok dan babak belur. Padahal dia tidak melanggar aturan pondok, hanya meludah dari lantai dua, dan air ludahnya jatuh tepat mengenai dahi Kang Jabir
Namun, bertahan terus di dalam sini risikonya juga tak kurang besarnya. Kalau sampai mereka tahu, dan itu bukan tidak mungkin, aku mencuri daftar itu, dan untuk apa aku melakukannya, bisa dipastikan besok pagi aku akan ditakzir berdiri di depan mushala, jika bukan langsung diboyong dari pondok.
Gus Robi. Kemana perginya Si rambut talang air itu? Pada saat seperti ini dia seharusnya ada di sini dan menolongku. Awas saja kalau sampai aku kena takzir. Yang jelas aku tidak mau celaka sendirian.
Tiba-tiba handle pintu bergerak, diputar dari luar. Daun pintu terkuak perlahan. Suara deritnya terasa sampai ke dalam relung dada. Sepotong wajah melongok dari luar. Poni lempar itu. Belum pernah aku merasa begitu gembira melihatnya sebelum ini.
"Apa kerjamu duduk di situ, Goblok! Ayo keluar!" Kata Gus Robi.
Di luar tidak ada keamanan. Rupanya, atas intruksi Gus Robi, mereka semua sibuk membawa Repo dan Penceng ke Puskesmas Pondok.
"Ketemu?"
Aku mengangguk.
"Malam ini kita menginap di Puskesmas."
Penceng dan Repo berakting sangat baik sore itu, benar-benar menjiwai peran yang dimainkan, dan hingga berminggu-minggu kemudian orang masih membicarakan peristiwa kesurupan itu. Bahkan beberapa orang memberikan julukan yang bagus sekali bagi mereka. Ketika kami tiba di Puskesmas, mereka sudah tertidur pulas. Beberapa orang kemanan ditugaskan untuk berjaga, kalau-kalau mereka akan kumat dan ngamuk lagi.
Gus Robi segera mengusir para keamanan itu. "Tidak ada gunanya kalian di sini. Hanya buang-buang waktu dan energi. Mereka berdua sudah loyo dan kehabisan tenaga. Kalaupun ngamuk lagi kami bisa mengatasinya. Jadi pergilah, senangkan diri kalian, mau ngopi atau nonton bola silakan."
Pada mulanya para keamanan itu berkeras tidak mau pergi. Mereka tidak bisa meninggalkan puskesmas sebelum mendapat perintah langsung dari atasan mereka. Itu adalah hal yang wajar, sebab kalau terjadi apa-apa mereka juga yang bakal kena semprot.
"Aku yang tanggung jawab," kata Gus Robi, lalu mengangsurkan lembar lima puluh ribu kepada salah seorang dari mereka. "Saya ucapkan banyak terima kasih atas bantuan kalian."
Mereka dengan senang hati, meskipun agak sungkan, menerima uang itu. "Kami akan berjaga di sekitar sini. Jika ada masalah jangan ragu untuk memanggil kami." Kata salah seorang dari mereka, mewakili yang lainnya.
Aku tahu berjaga itu maksudnya adalah ngopi di warung dekat situ. Para keamanan itu, pada umumnya, adalah santri-santri senior, orang-orang yang sudah tidak terikat pada aturan dan rutinitas madrasah. Jadi, mereka bebas keluar malam dan kembali ke pondok kapan saja.
Penceng dan Repo bangun sekitar pukul sebelas malam. Mereka mengeluhkan tulang-tulang dan persendian yang remuk redam, seperti habis dihantam dan diinjak-injak sapi. Namun, hal pertama yang mereka ingat setelah bangun adalah menagih janji Gus Robi.