Hampir seminggu setelah malam di Puskesmas itu, hari-hari berjalan seperti sedia kala. Gus Robi masih sering berada di kamar kami. Sikapnya biasa saja. Tidak marah dan tidak juga menjadi ramah. Hanya saja terlihat betul bahwa dia mengabaikanku, dan sebisa mungkin tidak membuat kontak apapun denganku. Barangkali, dalam pandangannya, aku telah berubah menjadi ubur-ubur laut dalam yang melayang-layang transparan di hadapannya. Dan itu bukan masalah besar. Sama sekali bukan masalah.
Penceng dan Repo bersikap seperti biasanya. Kami berangkat sekolah dan mengikuti jalsah musyawarah malam bersama-sama. Jadwal masak dan makan di dapur umum pun tidak berubah. Bahkan kadang-kadang mereka masih bercanda dan mengerjaiku. Hanya saja, jika ada Gus Robi di dalam kamar, mereka jadi ikut-ikutan mengabaikanku. Ll
Itupun bukan masalah. Sebab, aku menghabiskan aebagian besar waktu senggang di perpustakaan. Buku-buku novel dan kumpulan cerita pendek di rak sastra sudah hampir habis kubaca seluruhnya. Yang tersisa tinggal beberapa buku-buku terjemahan yang kalimat-kalimatnya begitu panjang dan menjenuhkan. Jadi, selama beberapa hari itu aku berpindah-pindah dari rak filsafat ke seri pembangun jiwa. Jika kepalaku sudah terlalu berat dan puyeng, aku kembali ke rak sastra dan membaca ulang Sang Alkemis atau Musasi.
Kang Kumed hampir selalu datang tiga puluh menit sebelum azan Ashar. Dalam waktu yang singkat itu, kami kadang berdiskusi tentang puisi-puisi Jalaluddin Rumi. Sebenarnya aku lebih banyak mendengarkan ulasannya yang panjang lebar, dan hanya sesekali memberikan komentar, yang sungguhpun tidak juga bisa disebut komentar karena hanya merupakan truisme. Sekedar menyahut, agar komunikasi kami tidak menjadi hanya satu arah. Kurasa itu pun bukan masalah baginya, sebab aku tahu dia lebih suka didengarkan. Yang terakhir dia menyodorkan kepadaku Buku Musyawarah Burung karya Fariduddin Attar. Bukan koleksi perpustakaan pondok. Dia mendapatkannya dari seorang kawan, alumnus pondok, yang pernah belajar di Timur Tengah.
"Isinya bukan hanya puisi," katanya.
Itu adalah buku terjemahan dari Bahasa Inggris. Bagian awalnya aku tidak begitu suka. Penuh dengan kalimat berbunga-bunga yang membosankan. Kalau saja aku bisa membaca dalam bahasa aslinya barangkali akan lebih asyik. Tapi ada bagian yang bagiku sangat menarik, yaitu ketika Hudhud mengisahkan perjalanan Kiai San'ah. Cerita itu mengingatkanku pada Kiai Barseso, hanya saja dengan akhir yang bahagia.
Beberapa kali Kang Kumed mengajakku membersihkan ndalem agung, tapi aku dengan tegas menolaknya. Rasa gusar karena kejadian tempo hari masih belum hilang dari benakku. Bahkan, beberapa kali aku masih memimpikannya. Terutama tentang Ning Ara. Sekali waktu aku melihat gadis itu memanggil-manggil namaku, dengan suara menyayat hati, dari sebuah menara di tengah lautan. Kadang aku melihatnya duduk di tengah tumpukan kitab di dalam bangunan mushala di tengah hutan belantara. Anehnya, dalam setiap mimpiku aku tidak pernah berhasil melihat wajah gadis itu dengan jelas.
Pada Jumat pagi, setelah mencuci baju, mandi dan bersiap pergi ke perpustakaan, Repo mencegatku di depan pintu.
"Ada panggilan untukmu," katanya.
Aku memasang raut muka dan pandangan curiga. Bukan sekali dua kali dia mengerjaiku.