1997
"Aku bersumpah, Akbar! Orang-orang yang sudah menyakiti kita tidak akan hidup tenang, nanti! Dasar, goblok! Keparat sialan!" teriak sosok lelaki kerempeng dengan kedua mata menyala.
Garis-garis di tangannya dikerubungi oleh kumpulan lalat yang perlahan mulai merayap ke bagian atas tubuhnya, hendak menari-nari di atasnya, dan menyesap segumpal darah yang mulai mengering seiring berjalannya waktu.
Untuk sekilas, kupandangi lelaki di sampingku yang mulai menyerah dengan kesakitan di sekujur tubuhnya. Napasnya tersengal sampai aku berkali-kali membuat perkiraan, seberapa keras dia berusaha menghirup oksigen di sekitarnya? Dua persen? Tiga persen? Akh, entahlah, seluruh panca indera yang tertanam di tubuhku mati rasa.
Aku dan dia, kami adalah dua manusia yang baru saja dibebaskan dari cengkraman pasukan berbadan besar. Satu tahun lalu, tepat di saat kami berdiri di antara jajaran buruh pabrik lokal; berdebat hebat dengan para petinggi negara; mencecar habis perkara ekonomi yang carut marut, tak karuan; meminta pertanggungjawaban atas kesejahteraan para petani dan juga buruh lokal. Kami dicap sebagai orang-orang yang masuk ke dalam kategori daftar hitam.
Aku dan Mochtar, kami berdua pernah disekap, lalu dicecar dengan beberapa pertanyaan, dihujani dengan setruman di bagian kaki, tangan, hingga dada. Aku bersumpah bahwa aku bisa saja mati di hari itu! Kami sempat diperlakukan bak kelelawar yang tidur dengan posisi terbalik! Aku dan dia sempat kehilangan orientasi waktu karena kain hitam yang senantiasa bertengger di kedua mata kami!
Mochtar sempat dipaksa tidur di balok es! Dan aku terus saja menderita sebab setruman-setruman itu! Semua itu begitu menyakitkan, Tuhan! Akh, sudahlah, apa gunanya aku mengadu? Semesta ini terlalu buta akan sebuah keadilan, bukan?
Pada akhirnya, aku memilih untuk menenangkan diri, sejenak menghirup napas, lalu kembali menghadapi sosok Mochtar yang senantiasa berdiri di sampingku.
"Sudahlah, Mochtar! Percuma kamu marah. Mereka itu kumpulan orang-orang tuli yang enggan mendengarkan rakyat-rakyat miskin seperti kita," balasku kemudian, tangan kananku menepuk pundaknya, kemudian mengelusnya sesaat, hendak menciptakan kenyamanan palsu yang kuyakin hanya bertahan dalam hitungan detik.