Mei, 1998
Di suatu pagi, aku kembali menghimpun asa, mengembangkan senyuman sembari mengalunkan sebuah doa, sejenak mengucapkan syukur kepada Tuhan yang masih memberiku nyawa. Tidak ada huru-hara yang mengancam nyawa di sini, dan itu menandakan bahwa tempat ini aman.
Oh ya, jika di bagian utama kalian telah mengetahui perpisahanku dengan sosok Mochtar. Maka, aku akan menceritakan kisahku dan yang lainnya setelah ini.
Hari ini, hamparan padi yang mulai menguning, menjadi layar utama di pagi hari. Beberapa anak berseru, ramai mempertanyakan keberadaan sosok hewan yang terbiasa bersembunyi di balik lumpur. Anak laki-laki berkaos biru dengan tulisan “Bangkit Indonesia,” lantas berseru, “He! Ayo golek keong!¹”
Asep, Bucep, dan Cecep. Ketiga anak laki-laki yang tengah menginjak-injak tanah basah di sekitar sawah bersorak ramai, tak mau kalah, apalagi mengalah. Ketiganya langsung sigap dengan tangan kosong. Yah, cukup dengan tangan kosong. Keong bukanlah hewan karnivora, apalagi omnivora, gerak mereka terlalu lambat, dan itulah yang membuat langkah mereka tak terhambat.
Sementara itu, jauh di sebuah kota. Suasana riuhnya kota membuat beberapa anak-anak manusia di bumi tercekik. Tak jarang mereka mengadu, ingin segera pulang ke kampung halaman, tak tahan dengan kerasnya kehidupan kota. Meski begitu, mereka-mereka yang terpilih, memutuskan untuk tetap bertahan, terus berjuang, demi sesuap nasi. Dan yah, kedua manusia tunggal ini, Wang dan Zahra. Biar kujelaskan satu-per satu persoalan mereka.
Dimulai dari Wang. Saat itu, ia tengah berjualan di Pasar Besar Malang bersama dengan sang ibu tercinta, menjual barang-barang elektronik dan juga perlengkapan rumah tangga. Sang ibu nampak gelisah. Sesekali, dirinya menggigit jari.
“Huh, bagaimana ini, Wang? Sudah lama aku mencari keberadaan dia. Tapi tetap saja tidak ada. Apa dia masih berada di tempat itu? Seharusnya, dia sudah tidak di sana lagi, kan?” seorang perempuan tua baya mulai mengeluh, hendak membuat anak tunggalnya kebingungan.
Wang Chunying berdiam diri, mencari-cari celah di mana keberadaan lelaki yang selama ini dia sebut sebagai sosok “Nakhoda Hitam.”Sudah lama dia menunggu hari pertemuannya, sesekali, dia mulai mengeluh, mencari sosok yang telah menjadi ancaman baginya sama sekali tak mudah. Sampai akhirnya, seseorang datang dan mulai mencari perkara.
“Heh! Kalian berdua! Bisa tidak, kalian berdua pindah saja dari sini? Lihat, gara-gara kalian! Orang-orang jadi pergi dari tokoku dan pindah ke toko kalian! Bisa rugi aku nanti!” pekik Rukayah, wanita berbaju merah dengan rok hitam itu, mulai mengusirnya. Dia adalah orang yang sangat sentimen terhadap pemilik toko di depannya.
Wang, sosok yang kini diwajibkan menjalankan amanah dari sang ibu sangat geram. Dia adalah orang paling sabar yang pernah kukenal. Tapi, jika ada orang lain yang ribut dengan ibunya. Jangan tanya di mana letak kesabarannya. Sudah pasti kesabarannya menghilang dalam sekejap.
“Maaf, Bu Rukayah. Tapi, Ibu harus tahu! Saya sudah bayar sewa buat tempat ini. Dan saya juga tidak tahu, kenapa orang-orang lebih memilih ke toko saya daripada toko Ibu. Harusnya, Ibu lebih sibuk mengoreksi kekurangan toko Ibu sendiri. Bukannya malah ngusir gara-gara tidak terima. Bisa jadi, perencanaan saya dalam berdagang lebih matang daripada Ibu. Hahaha,” balas Wang santai, dia mengulum senyuman, melipat kedua tangan, bergaya layaknya seorang pemenang.
“Heh! Sembarangan! Emang kurang ajar kalian berdua, ya! Inget, kalian berdua itu orang non pribumi! Harusnya, kalian lebih menghargai orang pribumi! Kalian tinggal di Indonesia itu cuman numpang! Jadi, jangan berani-berani sama penduduk sini! Gimana kalo kalian nanti diusir sama warga sini, hah?! Mau, kalian?!”
Rukayah melototkan kedua mata, berlagak layaknya pemberi peringatan. Jika boleh jujur, sebenarnya keributan ini jarang terjadi. Tapi, sayangnya kejadian ini malah menimpa temanku Wang karena rasa iri dengki dari pesaingnya.
Beberapa mata yang tadinya abai, mulai memperhatikan, tidak ingin mati penasaran. Wang dan ibunya menghembuskan napas panjang. An yang memegang peran sebagai ibu, melirik tajam kedua mata anaknya.
“Masuk ke dalam, Wang!”
“Tapi-“