Depok, 1998.
Kembali pada diriku, entah kalian menyebutku sebagai pemeran utama atau pemeran figuran. Aku tidak seberapa peduli. Yang penting, sekarang aku baru saja menghadiri pertemuan rahasia. Aku dan beberapa kelompok temanku menyebutnya sebagai perkumpulan “Berani Nekad Asal Baik (BNAB).”
Jumlahnya hanya empat orang, semacam perkumpulan non formal yang sengaja dibentuk khusus oleh kami berempat. Siapa pun bisa mengambil alih sebagai sosok pemimpin. Oh iya, satu hal yang harus kalian tahu. Dua hari yang lalu, Wang masih berada di Malang bersama dengan ibunya. Namun, sekarang dia sudah ada bersamaku, kami memang berkuliah di sini. Dan sebab itulah, segala aktivitas kami tak jauh-jauh dari sini.
Di malam itu, kami merasa lega setelah membahas karya Pramoedya Ananta Toer yang dilarang beredar oleh pemerintah, secara sembunyi-sembunyi tentunya. Sebenarnya, kami melakukan pertemuan itu karena kami merindukan jiwa liar kami di masa lalu.
Malam ini, gedung-gedung tinggi masih membisu, yang ramai hanya manusia-manusia yang sibuk dengan aktivitasnya. Beberapa anak jalanan masih mengadu nasibnya. Harus aku akui, meski aku bersama dengan teman-temanku, pikiranku terjerat oleh masa lalu.
Sepintas, aku memberanikan diri untuk membuka percakapan. Sebelum itu, aku menyeret Wang ke bagian belakang, membiarkan yang lain berjalan lebih dulu dari kami.
“Wang, apa kau tahu kabar Si Nakhoda Hitam itu? Dan—apa kamu masih mencari tahu tentang dia?" tanyaku pelan, aku menyenggol Wang, mataku dengan awas menatap lingkungan sekitar.
"Hsst, jaga bicaramu. Tidak ada yang tahu masalah itu selain kita berdua," balas lelaki itu pelan. Dia menelan ludah setelah membalas pertanyaanku.
"Akh, maaf. Bicaraku keterlaluan, ya?" aku memberanikan diri untuk melanjutkan percakapan, masih berusaha keras untuk mencari tahu. Wang melirik sekilas ke arahku, mendekatkan mulutnya di kedua runguku.
"Dengar, aku tidak tahu dia di mana. Aku lebih peduli dengan keadaan Ibuku, dua hari yang lalu, dia juga membicarakan Si Nakhoda Hitam itu. Tapi, aku mendiamkannya saja, lagi pula, aku tidak mau berlarut-larut membahasnya," bisiknya pelan.
Deg!
Baiklah, itu masuk akal, masalah itu memang sudah lama berlalu. Tapi, bagaimana jika dunia kembali mempertemukan masalah itu dengan kita berdua di masa depan?
"Tunggu, bagaimana dengan Ibumu? Apa dia masih trauma dengannya?" aku menaikkan salah satu alis, lantas, lelaki di sampingku memukul kepalaku pelan.
"Apa kau tidak bisa menyimpulkannya? Aku sudah bilang padamu, kan? Dua hari yang lalu, dia membicarakannya lagi! Itu berarti, dia masih trauma!" Wang mengatakannya dengan nada tegas, hendak memukulku mundur dengan pernyataannya.
"Baiklah, aku harap, Ibumu bisa berdamai dengan masa lalu dan sembuh dari traumanya, Wang," ucapku kemudian, sedikit memberi harapan, walau aku ragu-ragu ketika mengucapkannya.
"Ibuku tidak akan bisa sembuh dari traumanya, Akbar. Dia telah kehilangan Suaminya karena Ayahku meninggal dunia. Dan itu artinya, dia kehilangan cinta sejatinya. Meski aku ada dan terus berusaha mencintainya dengan caraku. Itu tidak akan cukup. Kau tahu, kan? Cinta dari seorang pasangan dan seorang anak itu sangat berbeda. Dia mendapat cinta dari anaknya, tapi tidak dari Suaminya. Dan aku tidak akan bisa menggantikan posisi Ayahku sekalipun aku bisa bertanggung jawab untuknya di kemudian hari." Wang menjelaskan semuanya dengan wajah cemas.
Astaga, apa yang telah kulakukan?! Bagaimana mungkin empatiku mati? Sikapku keterlaluan!
"Wang, aku-"
"Kau itu beruntung, Ayahmu masih hidup. Dan itu berarti, kau masih bisa mendapatkan kasih sayang darinya. Berbeda denganku yang harus berdiri sendiri tanpanya," Wang memotong ucapanku. Dan itu makin membuatku merasa bersalah. Alhasil, aku berusaha keras menghentikannya.
"Wang, dengar, aku-"
"Apa lagi yang mau kau bicarakan? Apa kau mau berdoa agar aku bisa berdamai dengan masa laluku? Asal kau tahu, Akbar. Sejak kecil, aku jarang bertemu Ayah. Dia selalu memberiku uang dan barang-barang yang aku suka. Tapi aku tidak butuh itu. Aku hanya butuh waktunya. Aku ingin merasakan pelukannya dan mendengarnya berkata bahwa dia menyayangiku. Tapi, rasanya itu tidak mungkin. Sikapnya terlalu dingin, dan dia lebih sibuk dengan dokumen-dokumen miliknya. Yang paling parah, dia tidak pernah berkata jika dia bangga denganku sampai dirinya meninggal dunia."