“Fio! Papa kan sudah bilang berapa kali sama kamu! Jangan deket-deket sama Wang dan temen-temennya! Kenapa kamu bandel banget?! Apa kamu mau menjadi anak durhaka?! Sejak kapan kamu berani sama Papa, ha?”
Prapto, sosok lelaki yang dikenal dengan ketegasan dalam kepemimpinannya, berhasil membuat siapa pun tak berani dengannya. Bahkan, jika yang lain diberi kesempatan untuk menunjukkan opini mereka. Manusia-manusia itu lebih memilih untuk diam. Hampir semua orang di kantor menundukkan kepala jika bertemu dengannya, segan untuk berdebat, tapi tidak dengan Fio. Kedua lelaki itu saling bertempur dan gencar memperlihatkan watak keras kepalanya di ruang keluarga.
“Papa apa-apaan, sih? Wang sama yang lain itu temen Fio dari kecil, Pa! Nggak mungkin aku lepas dari mereka! Mereka semua sudah jadi saksi dalam kehidupan aku sampai sekarang!” balasnya dengan nada meremehkan.
“Kamu kalo ketemu mereka ngapain? Apa saja yang kamu bahas, hah? Apa masalah karya Pramoedya lagi? Ngaku kamu, Fio! Beberapa hari yang lalu! Kamu sama temen-temen kamu berencana ikut demo, kan?” kali ini, lelaki itu meninggikan suaranya, tapi lebih tinggi dari hari-hari biasanya. Rupanya, kesabarannya sudah setipis tisu.
“Terus kenapa? Papa tidak suka kalo Fio ikut demo? Papa kenapa, sih? Fio itu cuman mau bela kebenaran! Masa Papa tidak ingat, waktu Pak Ridho datang ke rumah kita kemarin malam? Beliau bilang, negara ini butuh perubahan, Pa! Rakyat butuh kebebasan dan kejelasan dari pemimpinnya! Mereka berhak mendapatkan pemimpin yang lebih layak! Fio nggak mau dipimpin sama orang yang menganggap dirinya sebagai kaum superior!” Fio kembali membantah, sesekali memijat keningnya sendiri.
Sang ibu yang dari tadi bersembunyi di balik pintu, diam-diam mengamati sambil gigit jari.
“Fio, jangan mundur, Sayang! Mama pasti membela kamu!” batinnya pelan. Perkenalkan, dia adalah sosok malaikat di bumi yang dikirim khusus untuk Fio. Wanita paruh baya yang berstatus sebagai seorang istri seorang pejabat di bagian keuangan itu, berjalan dengan mantap.
“Sudah-sudah, jangan berantem lagi. Malu nanti kalo didengerin tetangga.” Suara lembutnya yang khas, membuat setan di kepala Fio menghilang dalam hitungan detik. Namun, hal itu membuat lelaki bertubuh tinggi di depannya melirik wanitanya, seolah mengerti maksud kedatangan istrinya.
“Kenapa kamu ke sini? Mau bela anak kamu yang kurang ajar ini? IYA?”
Brak!
Fio mendobrak meja dengan berani.
“Cukup, Pa! Jangan berani bentak Mama lagi! Jika tidak, Fio tidak akan segan-segan berhadapan sama Papa! Fio tidak peduli sekalipun Fio nanti babak belur karena ulah Papa!” jawab Fio dengan berani, ia melirik ke arah sang ibu, melempar senyuman tipis. Oh, jika saja kalian bisa melihat senyuman itu. Fio sangat manis ketika tersenyum, aku dan teman-teman yang lain mengakui itu.
*********
“Fio! Wang! Kalian di mana?”
Arif berlari seperti orang kesurupan, tiba-tiba saja, dia menjadi sosok yang berlagak cemas bagaikan seorang ibu kehilangan anaknya. Sorot kedua matanya meneliti setiap orang yang berlalu-lalang. Depan, belakang, samping kanan, dan samping kiri, dia memperhatikan semuanya dengan jeli. Aku yang dari tadi menyusulnya, mengaku kalah.
Arif adalah petarung jalanan, dia sering berkelahi di mana saja. Berlari adalah kemampuan utamanya, dia sangat pandai kabur dari kejaran musuhnya, langkahnya sangat gesit. Dan itu lebih dari cukup untuk membuatku mengelus dada. Jujur saja, aku kewalahan jika harus bertanding dengannya malam ini. Akhirnya, kuputuskan untuk memintanya berhenti.
“Rif, berhenti sebentar, dong! Capek, nih!” teriakku lantang, tangan kananku secara otomatis menarik bajunya. Arif melirik ke belakang, lalu berhenti di tempatnya, dan terus meneriaki nama-nama itu. Untuk sejenak, aku menelan ludah, barisan bintang malam ini tak secantik hari-hari biasanya, tapi itu bukan salah mereka.
Aku saja yang tidak bisa menikmati pemandangannya, mereka tidak membuatku tertarik. Entah kenapa, kali ini aku gagal mendapat sebuah KETENANGAN!
“Arif, kita pulang saja, yuk. Aku nyerah buat nyari Fio sama Wang. Dan yang paling penting lagi, aku ngantuk,” ucapku sambil menyikut lengannya. Arif menoleh, lalu menundukkan kepala. Sedang aku memutuskan untuk duduk di jalanan, meluruskan kaki, dan terus menatap langit. Sampai aku menyadari, hampir tiga menit temanku berdiri dan terus melamun.
“Rif! Kamu kenapa, sih? Jangan aneh-aneh, deh,” aku menyikut lengannya. Sungguh, aku membutuhkan sebuah jawaban. Sayangnya, dia hanya mengangkat jempol, tanda setuju. Aneh, tidak biasanya dia begitu. Apa yang salah darinya?
“Ayo pulang!” dia mengajakku dengan ketus.