Zahra membanting telepon. Habis sudah kesabarannya meladeni pamannya. Depresi itu kembali menyerang dirinya, menggerogoti kedamaian dalam hatinya. Gadis itu mengacak rambutnya sendiri, lalu menangis di bawah gelapnya malam. Sesekali, dia megulik ingatan di masa lalu.
Perihal orang-orang yang sering melemparinya dengan air bekas cucian, berpindah kepada dirinya yang dimasukkan ke dalam rumah kosong tua bekas orang bunuh diri, hingga semalam penuh. Belum lagi ketika seluruh orang kampung mengusir dia dan keluarganya dari halaman rumahnya sendiri.
Hingga yang paling parah, dia pernah diiming-imingi untuk bekerja di sebuah restoran. Padahal, di hari pertamanya kerja, dia dipaksa untuk melayani laki-laki nakal. Hampir saja dia dinodai oleh laki-laki brengsek. Beruntungnya, perempuan itu paham dengan bela diri. Sehingga, dia bisa kabur dan menyelamatkan dirinya sendiri. Namun, yang paling menghantam dirinya hingga sekarang, datang dari adik ibu kandungnya. Beliau pernah mengatakan sesuatu yang membuatnya sakit hati.
“Zahra itu anak dari seorang pembunuh! Dia tidak pantas hidup tenang! Dia harus menanggung karma buruk dari Ayahnya! Manusia kotor seperti dia, harus tahu di mana seharusnya dia berada! Sebaiknya, dia diasingkan saja! Atau paling tidak, ditelantarkan di jalanan hingga mati!”
Semua kejadian itu telah membuat rasa kasihan mati di dalam hatinya. Alhasil, gadis itu tidak ingin berteman dengan kata maaf, terutama jika hal itu berhubungan dengan orang yang seharusnya bertanggung jawab atas kejadian ayahnya di masa lalu. Untuk sejenak, gadis itu menghapus air matanya. Lalu, dia merogoh sakunya, mengambil uang koin, memencet tombol-tombol angka secara acak, hendak menghubungi teman.
“Tolong jemput aku di halte bus seperti biasa, besok!” ucapnya dengan nada tegas. Apa aku harus memberi tahu kalian? Orang yang dia telepon adalah aku. Yah, aku adalah orang kedua yang dia hubungi setelah pamannya. Aku yang mendengarnya berbicara, spontan mengusap wajah dengan kasar.
“Hah?! Mau ngapain, kamu? Jadi pindah kos, kah?" tanyaku sekali lagi, hendak memastikan. Aku berjalan mondar-mandir karenanya. Dia adalah perempuan yang sejak tadi membuatku berlagak bagai orang bisu di hadapan teman-temanku. Dan inilah ketakutanku yang sebenarnya. Sialnya, hingga telepon kami berlangsung, aku hanya menemukan akar permasalahannya. Aku gagal mendapatkan cara untuk menghentikan dirinya.
“Kenapa masih tanya? Kamu niat membantuku nggak, sih?”
“Aku bantuin kamu buat cari kos di sini, Zahra. Selebihnya, aku tidak mau tahu! Yang penting, aku sudah bilang. Orang yang kamu cari, ada di kampus kita! Apa kamu bisa mengira-ngira, dia siapa? Mengingat, kamu dan dia cuman bertemu dua kali, dan umurmu masih delapan tahun waktu itu!” balasku panjang kali lebar.
“Jangan khawatir! Aku pasti bisa mengenali dia!”
“Bagaimana dengan Ibumu? Apa dia setuju kalo kamu pindah kos?! Apa dia tidak bertanya alasan kamu pindah?” tanyaku sekali lagi, masih ingin memastikan.
“Dia setuju! Mau tahu kenapa? Jarak kos yang akan kutinggali lebih dekat dengan universitas! Sampai jumpa di halte bus, besok!”
Deg!
Sekali lagi aku menghela napas, kupastikan ini bukan mimpi dengan jalan menampar pipiku sendiri.
“Ck! Sialan!” batinku memekik kencang. Malam itu, sumpah serapah terdengar di segala penjuru, aku tak tahu apa yang akan terjadi besok. Tapi, hal ini akan menjadi kebenaran pelik untukku.
Oh! Jika saja aku punya kekuatan untuk menghilang! Sudah pasti aku akan melakukannya! Hari ini juga, tanpa tapi, tanpa karena! Sayangnya, aku tidak bisa lolos dari lingkaran setan ini!
Alhasil, aku berjalan ke lantai bawah, meminum air putih, dan menelepon Wang dengan wajah panik.
"Wang!" panggilku pelan.
"Ya, ada apa?" tanyanya dengan nada datar.
"Tidak apa, aku hanya ingin memastikan keadaanmu saja," aku berusaha mengawali pembicaraan dengan sedikit rasa tenang.
"Aku baik-baik saja. Oh iya, ngomong-ngomong, apa Zahra jadi pindah kos?" tanyanya dengan antusias.
"Ya, itu benar. Bagaimana kau tahu?" aku balik bertanya, mumpung dia bersemangat membahas ini.
"Aku tahu dari Sarah. Baiklah, itu berita bagus. Oh iya, aku penasaran, apa dia sedang ada masalah dengan seseorang, sampai dia belajar bela diri beberapa hari yang lalu? Aku mengetahuinya dari Lian, Akbar. Hahaha, itu sungguh lucu. Menurutmu, apa dia akan menjadi orang ketiga yang tahu soal Nakhoda Hitam itu? Jika iya, itu termasuk berita terpopuler untukku."
Deg!