Rajutan Kisah Para Perantau

Rainzanov
Chapter #7

Kebenaran Mochtar dan Rencana Pergerakan

“Apa kau pikir, itu keren?! Kalian semua tahu siapa orang yang dia ikuti, bukan? Dia adalah salah satu aktivis yang terang-terangan menyuarakan kebenciannya terhadap Orde Baru! Aku yang paling mengerti bagaimana pola pikir Mochtar, Wang! Aku tahu, ketika orang itu membuat puisi Tanpa judul pada tahun sembilan enam! Mochtar memutuskan bahwa dia akan terus mendukung Si Pemberani itu! Cih! Seharusnya, aku dan Mochtar tidak bertemu dengannya di Solo ketika tahun delapan puluh tujuh! Waktu itu, umurku dan dia masih sembilan tahun! Dan aku tidak mengerti kenapa otak Mochtar benar-benar teracuni gara-gara puisi-puisi buatannya, Wang!” bentakku tak terima.

Fio dan yang lain berdiam diri, sedangkan Zahra mengepalkan tangan kanannya, menghembuskan napas kasar, dan mendelik di hadapanku. Entah, apa yang akan terjadi padanya hari ini. Tapi, amarah telah menyelimuti pikiran dan hatinya. Aku yakin, sebentar lagi, dia bisa saja membentakku! Untuk sesaat, fokusku kepada permasalahan Zahra, menghilang begitu saja.

“Lalu, kenapa? Apa menurutmu itu salah? Akbar, Mochtar itu bukan anak kecil yang harus kamu beri tahu ini dan itu! Aku tahu, puisi yang dibuat oleh orang yang dikagumin Wang adalah salah satu bentuk konfrontasi terhadap pemerintah! Tapi, semua itu memang realita yang kita hadapi! Apa masalahnya?! Mochtar membela kebenaran! Represi yang dilakukan pemerintah untuk menghentikan tindakan pengarang yang dicap subversif itu percuma! Mungkin, tulisan-tulisan mereka akan hilang, terbakar, dan lenyap! Tapi, bagi siapa pun yang telah membacanya! Aku yakin tulisan itu akan hidup! Karena tulisan itu punya makna yang dalam! Kau tahu kenapa?”

Zahra mengakhiri percakapan dengan melontarkan pertanyaan, aku tahu jika napasnya terengah-engah. Saat itu, semua orang terdiam, penasaran dengan sosok Zahra yang kini lebih dominan di antara kami.

“Karena itu semua adalah penderitaan orang-orang di negara ini! Puisi-puisi itu adalah suatu representasi dari orang-orang tertindas! Lagi pula, kedewasaan orang itu tidak dilihat dari umur, Akbar! Umurnya waktu itu sembilan tahun! Tapi, bisa jadi dia tidak gelap mata! Kamu harusnya bersyukur punya temen kayak dia! Di saat kita semua diam! Dia yang masih muda, berani melawan pemerintah!”

Zahra memberikan penjelasan secara runtut. Dan hal itu dilihat oleh semua orang, dimulai dari Sarah, Fio, bahkan kedua orang Chindo itu, Wang dan Lian. Gelagat keduanya menunjukkan bahwa mereka berada di garis yang sama dengan Zahra.

Lalu, bagaimana denganku? Sudah jelas, aku kalah telak. Meski aku mempunyai banyak pernyataan yang harusnya keluar dari mulutku! Tapi, entah kenapa lidahku kelu, keberanianku lenyap, hilang, entah ke mana. Aku sebenarnya sudah menyadarinya dari dulu. Segala prediksiku menjadi benar. Hanya saja, aku benci bila semua ini menjadi kenyataan. Aku tidak sanggup bila harus kehilangan salah satu temanku nanti!

“Baiklah! Terserah, apa kata kalian! Tapi, gimana kalo nanti dia diculik sama keparat itu?! Masih ingat ketika peristiwa kudatuli? Aku tahu kalo Ayahnya dan dia ikut turun ke jalan! Gara-gara itu semua! Dia dan Ayahnya jadi orang nomaden yang hidupnya harus pindah-pindah! Dan sekarang?! Aku nggak yakin dia masih hidup, Zahra!” pekikku dengan nada tinggi, habis sudah kesabaranku! Aku tidak habis pikir kenapa Mochtar bersemangat untuk demo bersama dengan salah satu partai pembela rakyat itu! Dan yang paling parah, kenapa tidak ada seorang pun yang menyadarinya?! Ke mana logika mereka saat ini?

Brak!

“Aaaaa!”

Aku berteriak paling keras, tak peduli dengan belasan mata yang dari tadi menganggapku sebagai preman pasar. Aku berkata begitu setelah aku melihat beberapa orang melewatiku dan yang lain. Zahra dan Wang, dua orang dengan watak keras kepala mereka terguncang.

Detik selanjutnya, Zahra perlahan turun ke jalan, memberanikan diri mengambil surat yang rupanya sudah tak karuan akibat ulahku. Kini, tangannya gemetar. Di dalam surat itu, aku melihat dua kertas, semuanya terisi penuh oleh jajaran tulisan rapi yang kami kenali. Siapa lagi jika bukan tulisan Mochtar?

“Tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh tujuh? Oh, tidak. Aku tidak sadar kalo Mochtar menulis ini tahun lalu,” Zahra membungkam mulutnya sendiri. Dengan cepat, tangan kanannya memilah dua kertas. Kertas pertama ditujukan untukku, Zahra, Wang, Fio, dan Lian. Dan kertas kedua, ditujukan khusus untuk sosok Sarah.

Deg!

Zahra terdiam ketika kedua matanya bertemu dengan kalimat yang tertulis jelas di bagian atas surat.

“Dear, Sarah? Jadi, selama ini Sarah pacarnya Mochtar?” batinku. Kulihat gadis itu menundukkan kepala. Aku bisa melihat tangisnya pecah. Setahuku, Zahra tidak adalah sosok yang terkesan apatis terhadap lelaki.

Tapi, jika dia bisa menangis gara-gara seorang lelaki! Pasti ini bermasalah untuknya! Apa dia memiliki rasa untuk Mochtar? Aku sama sekali tak mengerti, pikiranku terus saja dihujani dengan serdadu masalah yang tak ada habisnya menyerang. Tapi, untuk yang satu ini, aku tidak bisa apa-apa. Aku tidak berhak ikut campur tentang permasalahan cinta Zahra.

Pada akhirnya, aku berusaha mengambil alih, kurebut kertas itu sebelum akhirnya kuberikan ke Sarah. Begitu aku melihat kedua matanya, tangannya langsung menutupi mukanya. Untuk menenangkannya, aku menepuk bahunya pelan, sambil berkata dengan sok, “Aku nggak tahu kamu kenapa. Tapi, kalo ini soal cinta. Ikhlaskan saja bila Mochtar bersama Sarah.”

Napas Zahra tertahan setelah aku sampai pada kata terakhir. Dia melirikku dengan tajam, tanda bahwa dia ingin menyudahi percakapan ini. Aku melempar pandangan, berjalan ke arah yang lain, dan membacanya secara seksama.

Fio dan Wang duduk di hadapanku, mereka menjadikan tangan kanannya sebagai penopang. Sedangkan Arif, dia duduk di sebelahku, tatapannya sangat serius, aku tahu dia peduli, disertai dengan ketakutan, pastinya.

“Cepetan dibaca dong, Bar! Jangan diam saja! Nungguin, nih!” Arif mengomel. Aku berdeham sebentar, lalu mulai membacanya.

“Dear Akbar, Wang, Lian, Fio, Zahra, dan Arif. Sudah lama kita tidak bertemu. Aku harap, kalian baik-baik saja hari ini, esok, dan di hari-hari berikutnya. Aaamiin,” ucapku sambil menghayati.

“Aaamiin!”

Arif dan yang lain menimpali, tak lupa ia bergaya dengan cara menelungkupkan tangan dan mengusapkannya ke wajah. Sungguh! Aku hampir tertawa melihat tingkah Arif. Belum apa-apa, dia sudah menangis. Sangat lemah bagi seorang lelaki.

Tapi, belum lama aku mengatakan itu, tak terasa aku sendiri dibuat bungkam karena kenyataan pelik sosok Mochtar. Dan bukan hanya aku, semuanya dibuat bungkam. Zahra yang paling kencang menangis setelah Sarah memulainya.

“Ck! Sialan!” pekikku sembari membuang kembali kertas itu. Kedua tanganku terkepal, lagi-lagi logikaku mati. Dan aku bersumpah, jenis setan atau malaikat apa pun tidak dapat kuajak berkompromi dalam kasus ini. Biar kuberi tahu, apa yang dia bicarakan di kertas itu.

Lihat selengkapnya