“Dia sudah bergabung lebih dulu dengan civitas Trisakti! Arif sudah bertekad untuk menyelinap menjadi salah satu dari mereka! Kau tahu dia sudah bertekad untuk menulis kisah ini, kan?! Entah kenapa, dia ingin menunjukkan kepada Akbar, siapa dirinya sebenarnya! Hahaha, aku yakin, Akbar akan senang mendengar itu!” balas Fio, pandangannya tertuju padaku.
Yah, aku memang senang, tapi itu hanya dua puluh persen. Sisanya, kalian pasti bisa menebaknya sendiri, bukan? Sudah jelas aku ketakutan! Bagaimana jika salah satu dari kami mati? Mendengar kabar soal Mochtar saja sudah membuatku kewalahan! Tapi ini?! Akh, sudahlah. Aku tidak ingin tensiku naik.
“Bagus, lah. Itu kabar baik, Fio. Lalu, tunggu apa lagi? Ayo, kita juga harus bersiap-siap untuk besok! Jangan lupa, kita semua harus membawa catatan. Bawa kamera kalian! Oh iya, untuk berjaga-jaga, kita harus membawa pager. Kita tidak tahu apa yang terjadi besok. Tapi, jika nanti kita berpisah, pager itu adalah satu-satunya jalan agar kita terhubung. Yah, semoga saja,” ucap Sarah dengan wajah gelisah. Kalian mau tahu? Sarah adalah salah satu perempuan yang sering mengalami dejavu.
Masing-masing dari kami agak terkejut ketika Sarah mengatakan kata itu, “semoga saja.” Kepalaku rasanya mau meledak. Tapi ini tidak bisa dihindarkan. Aku dan yang lain memang sudah bertekad untuk melakukannya. Tidak ada jalan lain selain maju.
Di hari itu, aku kembali mengingat kata-kata Arif soal pernyataan Soe Hok Gie. Sepertinya, dia benar untuk satu hal. Aku mulai bermain dengan ilusiku sendiri, membayangkan bila para aparat pemerintah ini saling bekerja sama, tidak ada huru-hara, tidak ada penindasan, korupsi, nepotisme, dan hal-hal lain yang membuat rakyat kecil terpecah belah. Lantas, batinku mulai mengadu.
“Oh, Tuhan. Kapan negeri ini mendapat kedamaian? Kapan pemerintah dan rakyat kecil bisa saling bercengkrama dan berorientasi untuk memajukan bangsa dan negara tanpa ada huru-hara di mana-mana?” batinku pelan. Aku menelan ludah, menundukkan kepala sambil menerka- nerka, apa lagi yang akan kita hadapi nanti.
“Ayo, kita harus ke sana, sekarang. Zahra, kamu sama Akbar saja, ya. Aku sama yang lainnya biar naik mobil. Lumayan, Wang sudah punya mobil baru. Ya, meski nggak baru-baru amat, sebulan yang lalu.” Lian mengatakannya sembari tersenyum.
“Terserah saja,” balasku singkat. Aku berjalan lebih dulu dari mereka semua.
Zahra yang melihat tatapan datarku, segera menyusulku, diikuti dengan yang lain pastinya. Kami semua langsung menuju ke Universitas Trisakti. Sebenarnya, bisa saja di hari itu kami berdiskusi bersama. Tapi, itu tidak akan terasa lengkap, karena Arif tidak ada bersama kami. Bagaimanapun, kami telah berjanji untuk terus bersama-sama.
Setelah perbincangan itu selesai, kami semua turun ke jalanan, Zahra seperti biasa sibuk memasukkan koin dan memencet angka. Wajahnya lebih gelisah dari hari-hari biasanya. Dia mengirimkan pesan melalui telepon operator untuk mengabarkan kepada Arif bahwa kami akan segera datang.
Aku melirik Wang, dia berlari kecil ke mobilnya dan segera masuk ke dalam diikuiti oleh Sarah, Lian, dan Fio. Kini, tinggal aku dan Zahra.
“Zahra, ini, ambil helmnya. Aku ada satu untuk kamu,” ucapku pelan. Tangan kananku dengan sigap memberikan helm itu kepadanya. Zahra mengangguk, dia segera duduk di belakang.
“Pegangan, Zahra! Kita nggak bakalan sampek kalo aku ngendarain motornya kayak keong,” ucapku, sengaja meremehkan. Zahra tidak suka mengebut, aku tahu itu. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Mau tidak mau, dia harus mengerti.
“Pegangan belakang saja, nggak papa,” balasnya singkat. Aku menghembuskan napas kasar, menoleh ke belakang, meraih tangannya.
“Pegangan aku saja, kalo kamu nggak mau. Kamu bisa pegang jaketku. Aku mau kita ngebut, paham?”
Perempuan di hadapanku mengalah. Lebih tepatnya, dia tidak ingin memperpanjang masalah. Aku tahu dia takut. “I … iya,” balasnya cepat.
Setelah aku menyuruhnya, kurasakan jari-jemarinya memegang jaketku. Dan aku merasa senang. Aku harap, semua ini bisa berlangsung lebih lama lagi. Tapi, ketika di perjalanan, Zahra malah membuka jurang ketakutanku lagi.
"Oh iya, ngomong-ngomong, soal pembicaraanku yang tadi. Aku rasa, aku sudah tahu siapa orang yang membuat Ayahku seperti itu di masa lalu," ucapnya pelan. Aku yang diajak mengobrol, seketika panik. Tapi, aku berusaha tenang dan menghiraukannya sampai kami tiba di Universitas Trisakti.
******