“Wang, kamu mau nyetir mobil lagi, apa nggak? Kalo kamu nggak mau, biar aku yang nyetir,” Fio menawarkan bantuan, Wang mengangguk, dia melempar kunci, bergegas ke dalam mobil. Fio melipat dahi, tak paham dengan maksud Wang.
“Jadi, kamu apa aku yang nyetir?” Fio meminta kejelasan, Wang menoleh, lalu menunjuk Fio dengan jari telunjuknya. Sarah dan Lian yang tahu perbedaan sikap Wang, berjalan ke arahnya. Inisiatif mereka mengawal keduanya untuk mencari tahu sumber permasalahan yang dihadapi oleh sosok Wang.
“Wang, kamu kenapa? Apa ada masalah?”
Arif yang dari tadi di sebelah Wang, mengambil alih terlebih dahulu, berusaha mempertanyakan alasannya. Wang, orang berbadan tinggi dengan alis tebal itu, segera berjalan ke dekat Arif dan berbisik pelan di sampingnya.
“Ikut aku,” bisik Wang dengan suara lirih. Arif menjawil Wang, tidak suka dengan sikapnya yang terkesan sembunyi-sembunyi.
“Nggak usah bisik-bisik, dong. Kita kan sudah sepakat. Siapa pun yang punya masalah di dalam lingkaran pertemanan kita, semuanya harus tahu.” Arif memperingatkan sosok Wang. Harus kuakui, tindakannya itu sedikit bodoh. Wang belum mengatakan masalahnya, tapi dia malah memberikan statement seperti itu. Padahal, permasalahan Wang bersifat privasi.
“Ya, sudah. Kalo begitu, lebih baik, kamu sama yang lain tidak usah tahu. Ini privasiku,” balas Wang.
Suasana yang tadinya tegang, malah menjadi-jadi. Dan aku tidak hadir di sana. Karena aku sedang berada di tempat persembunyianku sendiri. Satu hal yang harus kalian tahu, aku tidak akan memberi tahu kalian di mana tempat itu berada. Yang jelas, aku sudah ada di ruangan tertutup. Memiliki luas enam belas meter, dengan corat-coret dinding yang memiliki makna menyumpahi Orba.
Di sana, aku hanya ingin menenangkan diri. Dan entah kenapa, tiba-tiba saja aku kembali mengingat Mochtar. Biasanya, aku paling suka berdiskusi dengannya jika berada di situasi terpuruk. Sayangnya, aku harus mengambil keputusan itu sendirian, sekarang.
“Mochtar, aku harap, kamu baik-baik saja, kawan,” batinku sembari menitikkan air mata.
Ajaibnya, langit sepertinya mendukung kerinduanku, aku bisa merasakannya ketika air-air suci dari langit menjatuhkan dirinya dan menyentuhku dengan tulus. Kubiarkan diriku luluh di bawahnya. Sebelum nanti, aku kembali menjadi sosok petarung di hadapan Zahra. Oh, aku harap, semuanya berjalan dengan baik, nanti. Aaamiin.
*********
Hari ini, sore ini, tepat jam lima, aku, Zahra, dan juga Wang, berkumpul di sebuah tempat yang agak jauh dari kampus. Lebih tepatnya, kami bertiga ada di rumah Wang. Ketiga-tiganya saling berhadapan dengan serius. Tak ada ketenangan yang berusaha menyala di antara kami.
“Ini,” Wang melempar sebuah foto yang menunjukkan sebuah baju yang terlumuri oleh darah. Zahra melotot, dia mulai mengingat kepingan memori kelamnya di masa lalu. Tak hanya dia, aku dan Wang juga ikut melakukannya.
“Ini baju siapa? Dari mana kamu mendapatkan foto ini, Wang?” Zahra mulai menjatuhkan air matanya, andai saja aku bisa menampungnya, aku pasti sudah melakukannya. Sayangnya, aku hanya bisa berdiam diri, tentunya dengan menahan rasa takut. Jujur saja, Wang dan aku adalah orang asing bagi Zahra ketika kami masih kecil.
Oh, ya. Sedikit informasi tentang Ayah Wang. Beliau adalah orang Indonesia asli, sedang ibunya keturunan etnis Tionghoa. Bisa dibilang, dia adalah lelaki berdarah campuran.