“Apa kau mau kita bertengkar terus di sini, ha?!” pekikku dengan nada tinggi. Aku yang berada di garis terdepan, tak segan-segan memukulnya. Memang harus begitu, jika tidak, lagaknya semakin tak karuan nanti.
“Siapa takut?! Maju, sini!” Wang membusungkan dadanya ke depan, ia berlari kecil ke arahku dan mendaratkan tinjunya ke bagian wajah dan lenganku. Sebelum akhirnya, ia berusaha mencekik leher panjangku. Namun, aku tak kalah cerdik, dengan cepat, aku menyelinap, kurendahkan diriku dengan jalan menekuk lutut, tak segan-segan menghujamkan tinjuan ke perut rampingnya, hingga ia terpental dari hadapanku.
“Aaaaa! Jangan bertengkar, aku mohon!” Zahra, gadis yang kehilangan semangat dan tekadnya, telah berpindah dari tempatnya, ia menolong sosok Wang yang sedang memegangi perutnya.
CIH! Aku benar-benar jijik dengan diriku sendiri saat ini! Namun, apa boleh buat?! Aku tidak bisa bertarung di hadapan orang yang jelas-jelas aku cintai. Alhasil, aku memilih untuk menarik tangan Zahra, berusaha keras mengajaknya keluar dari jeratan belenggu iblis ini. Sayangnya, Zahra menggelengkan kepala, gadis itu masih setia dengan keras kepalanya.
“Aku mau minta maaf sama Wang, Akbar. Kasih aku waktu!” pintanya.
“Tapi-“
“Hssst! Percaya sama aku!” Zahra memohon dengan sangat, jari telunjuknya menempel sempurna di bibirku. Kucoba untuk menatap kedua matanya yang lemah, lalu kulirik Wang yang agaknya mulai paham bagaimana cara meredam amarahnya. Baiklah, aku bisa mempercayakan situasi ini kepada Tuhan, Wang, dan Zahra.
Tapi, aku tak meninggalkan Zahra dan Wang begitu saja. Dengan berani, aku mencium kening Zahra. Kubiarkan bibirku bertengger di keningnya agak lama, hendak memberikan penekanan kepada Wang bahwa dia adalah orang yang aku cintai, agar dia tidak berbuat macam-macam dengannya.
“Zahra, jaga dirimu baik-baik, ya.” Aku mengelus kedua pipinya dengan jemariku, lalu tangan kananku berpindah ke kepalanya, aku juga mengelus kepalanya untuk beberapa saat. Gadis itu mengangguk sambil tersenyum tulus padaku, dan dia mengecup pipiku untuk sesaat.
“Makasih, Akbar,” balasnya kemudian. Akh, ini adalah hari terbaikku, Tuhan! Aku akan mengingat momen ini hingga aku mati! Aku berjanji untuk itu!
Kulirik Wang untuk sesaat, aku langsung menghampirinya dan berkata padanya dengan tatapan tajam.
“Wang, jika kau menyakiti Zahra! Kau akan berhadapan denganku!”
*****
Jika sebuah bilah pedang mampu menggoreskan luka pada setiap yang bernyawa. Maka, lidah manusia tak kalah tajam untuk membunuh manusia secara perlahan. Karena, meski lidah itu tak memiliki ketajaman sebagaimana sebuah bilah pedang. Maka, ucapan adalah salah satu pengantar strategis untuk membunuh manusia yang mencoba bertahan hidup di tengah kerasnya duniawi. Yah, itu adalah kalimat yang bisa kusimpulkan dari kejadian ayah kami bertiga di masa lalu.
“Ya, Tuhan. Aku harus apa sekarang?” batinku meraung keras. Tak bisa kubayangkan jika hatiku memiliki kendali sendiri. Aku yakin, dia akan ke luar dari tubuhku dan menyerang Wang dengan caranya sendiri. Untungnya, dia tidak begitu.
Pada akhirnya, kuputuskan untuk pergi ke Danau Kenanga yang ada di Universitas Indonesia. Aku sudah bertekad untuk meredam amarahku setelah bertemu dengan mereka berdua. Sayangnya, Lian dan Sarah mendatangiku. Sarah duduk di samping kananku, dan Lian duduk di samping kiriku.
“Bar, ada masalah?” tanya Sarah, ia melontarkan pertanyaan sambil menunjukkan kecemasannya. Aku yang duduk di tengah-tengah mereka, menjawabnya tanpa menoleh ke salah satu dari mereka.
“Apa aku harus memberi tahu kamu? Aku tahu kalo kamu bisa membaca pikiran orang lain, Sarah. Makanya, aku rasa, aku tidak perlu menjawab pertanyaanmu,” jawabku dengan ketus. Jika boleh jujur, biasanya aku tidak pernah bertingkah seketus itu. Tapi, entah kenapa aku gemar melakukannya hari ini. Alhasil, temanku yang mulai merengut, mulai berkomentar.
“Heum, Sarah emang bisa membaca pikiran orang lain. Tapi, aku yang nggak ngerti apa-apa ini butuh penjelasan, Akbar.” Lian mengomel bak anak kecil yang perlu dituruti kemauannya. Baiklah, aku rasa, tidak masalah jika harus memberi tahu garis besarnya kepada Lian.
“Intinya gini, aku tadi ketemuan sama Wang dan Zahra. Aku sama Wang menjelaskan sebuah kejadian di masa lalu. Dan ini ada hubungannya sama Ayah kami bertiga. Puas?” Aku melirik sosok Lian yang kini membulatkan mulutnya hingga membentuk huruf o.
“Wow, kalau nggak salah, Ayahnya Zahra sudah meninggal sejak dia kecil gara-gara sakit, kan?” Lian menambahkan pertanyaan, dan itu membuatku ber-huh ria.
“Iya, aku tahu, kok. Tapi, Beliau bisa seperti itu karena ada hubungannya sama Ayahku dan Ayahnya Wang. Kalo kamu tanya kronologi lengkapnya seperti apa. Maaf, itu privasi, aku nggak bisa membicarakan itu sama kamu,” jawabku tak kalah tegas. Lian menghembuskan napas kasar, lalu dia menatap Sarah sembari tersenyum sinis.
“Gini, nih, yang buat aku iri sama Sarah. Andai saja aku bisa membaca pikiran orang lain, aku nggak perlu tanya ke kamu dan mati penasaran,” ucap Lian sembari menyenggol lenganku dengan kasar. Akh, tunggu sebentar, apa dia ingin merengek lagi? Tidak mungkin, bukan?