Rajutan Kisah Para Perantau

Rainzanov
Chapter #12

Perihal Cinta; Perpisahan Sementara; dan Catatan Pelik Seorang Wartawan, 1998

Setelah puas mengutarakan rasa di danau universitas, aku mengajaknya makan bersama, aku dan dia duduk bersama, kami bertukar pandangan soal dunia, membicarakan visi-misi untuk masa depan.

“Bar, kalo boleh tahu, kamu nanti mau jadi apa di masa depan?” tanyanya pelan, dia menoleh ke arahku, dan tentu saja aku sudah punya jawabannya.

“Aku cuman mau hidup tenang sama orang yang aku cintai, punya anak sama dia, dan menjalankan visi-misi yang sudah kubangun dari dulu. Aku ingin membangun yayasan buat anak yatim piatu dan memberikan pelajaran gratis untuk masyarakat pedalaman di desa. Tapi, setelah aku lulus nanti, aku akan kerja di luar negeri. Aku mau memperdalam ilmu teknik dan kerja di sana. Semua itu buat bekal untuk menjalankan visi yang sudah aku buat. Dan aku harap, pasanganku bisa menerima ideku,” balasku sembari memperhatikan gadis manisku.

“Cita-citamu itu sungguh mulia, Akbar. Dan sudah pasti aku mendukung kamu. Kamu harus tahu, meski aku sudah masuk ke kehidupan kamu, sekarang. Kamu nggak boleh lupa sama tanggung jawab kamu sendiri. Kalo kamu sampai lupa dengan tanggung jawab kamu dan lebih memilih aku. Lebih baik, aku sendiri yang pergi dari kamu. Aku memang cinta sama kamu. Tapi, aku nggak mau diperbudak sama cinta, karena aku memiliki prinsip yang menjadi pegangan aku selama ini,” jawabnya dengan penuh ketegasan. Itu dia! Perempuan seperti Zahra adalah perempuan yang aku butuhkan selama ini!

Aku mendaratkan ciumanku ke keningnya, lalu kucubit pipinya sembari tertawa lirih.

“Kamu lucu banget si, Zahra? Makasih sudah mau mengerti aku. Jangan pernah melepaskan prinsip kamu itu,” aku mengucapkannya dengan tulus.

“Iya, Akbar.” Zahra mengacungkan jempol. Dia menggenggam erat tanganku, seakan-akan tak ingin ini semua berakhir dengan cepat. Sebenarnya, aku pun juga begitu, aku tidak ingin jika semuanya berakhir dengan cepat. Sayangnya, aku tidak bisa melawan waktu yang terus saja bergerak maju.

“Zahra, ayo ikut aku,” ajakku kemudian, kami mengelilingi Depok sambil menikmati momen berdua.

Jajaran bangunan yang menjulang tinggi, disertai dengan hiruk-pikuk manusia-manusia bumi, menjadi pemandangan utama di sore ini. Bagiku, pemandangan ini terlalu biasa, tidak ada yang istimewa. Andai saja aku bisa kabur, aku akan mengajak Zahra menikmati surga duniawi seperti pegunungan, laut, air terjun, atau apa pun itu, asalkan itu berkaitan dengan alam bumi.

“Hm, aku bosen di kota terus, Bar. Andai saja aku bisa ke gunung, laut, air terjun. Sudah pasti aku ke sana,” Zahra mengomel, tapi aku berterima kasih untuk itu. Karena dari sana, aku bisa mengetahui apa yang dia suka. Dan aku bersyukur karena kita berada di garis yang sama.

“Sama, Zahra. Aku juga begitu, aku tidak terlalu suka ke mall atau cafe, karena tempat itu dimodifikasi khusus buat orang-orang berduit. Terkesan nggak adil, bukan? Lebih baik, kita ke alam, itu lebih adil. Siapa pun dia, dari kelas mana pun dia berasal, mereka semua bisa menikmatinya. Mau dia seorang pejabat sampai orang biasa, alam bisa memberi kebahagiaan kepada siapa pun, tanpa pandang bulu,” balasku tanpa ragu. Gadis di belakangku tersenyum.

“Iya, kamu benar, Bar. Aku seratus persen setuju sama kamu,” Zahra memberikan komentar positif. Lagi-lagi aku tersenyum karena ulahnya.

“Oh iya, Zahra. Aku belum nembak kamu, loh. Kok, kita tiba-tiba seperti ini? Mana yang lain sudah punya firasat kalo aku suka sama kamu.”

“Nggak papa, kok. Lagian, kamu udah menyatakan rasa ke aku, dan aku juga begitu. Bagiku, itu sama saja,” balasnya dengan suara lirih.

Baiklah, harus kuakui, Zahra selalu membuatku takjub. Dan itulah yang membuatku puas. Sungguh, aku menganggap hari ini adalah salah satu hari terspesial untukku. Meskipun aku tahu, hal itu hanya berlangsung beberapa jam saja. Karena nantinya, kami berdua akan segera berpisah.

******

“Sudah selesai belum, pacarannya?” Fio menatap kami berdua dengan wajah tak karuan. Aku memperhatikan kedua matanya yang bengkak. Gawat! Sudah berapa kali dia menumpahkan air mata, sampai kedua matanya sembab begitu?

Lihat selengkapnya