Rajutan Kisah Para Perantau

Rainzanov
Chapter #13

Amarah; Pasukan Hitam; dan Ketiadaan Fio.

Kakakku bersumpah! Kerusuhan ini adalah sesuatu yang mengerikan! Bahkan lebih mengerikan dari sosok buaya yang menggigit kepala korbannya secara brutal. Di hari itu, dia melihat beberapa mahasiswa berteriak.

“Kita harus kabur! Kita nggak bisa bertahan di sini lagi! Tempat ini adalah neraka! Bakar semua dokumen dan barang bukti! Jangan sampai ada yang ketinggalan!” pekik salah satu mahasiswa dengan wajah kusamnya, suaranya begitu parau, tanda bahwa dia terlalu sering meningkatkan volume suaranya di tingkat tertinggi.

“Baik, laporan diterima! Ayo! Bakar semua barang bukti!” teriak mahasiswa lain, satu per satu dari mereka wira-wiri mengambil dokumen; melipatnya tak karuan, dan membakarnya di tempat paling aman.

Kakakku seketika tersenyum, menyuarakan doa agar semua orang selamat. Tak lupa, dia selalu memotret apa pun yang menurutnya penting, dengan hati-hati tentunya.

Entah kenapa, aku merasa jika langkah Kakakku bak angin yang membawa apa pun secepat kilat. Aku tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan Kakakku untuk menjadi seorang pengendali waktu, hingga dia ahli dalam memainkannya. Tapi, itu benar-benar keren!

Menjelang malam, Kakakku membantu salah satu mahasiswa menyamar. Dia memberikan sebuah jas dari salah satu media kepada mahasiswa itu. Tapi, bukan jas miliknya yang diberikan, melainkan jas dari media lain. Dia bilang, bahwa lelaki yang ditolongnya harus segera ke Rumah Sakit Sumber Waras.

Beberapa jam setelahnya, Kakakku sangat marah, dia merasa ada sebuah desersi yang menyebabkan para wartawan lain bergeser ke satu poros, yakni Universitas Trisakti. Hal itu terjadi setelah kejadian yang menewaskan empat mahasiswa menggemparkan satu kampus. Ketika dia berkumpul dengan teman-temannya, dia sempat membuat ledakan amarah yang begitu besar di sana.

“Kenapa kalian semua di sini? Apa kalian lupa? Yang dibutuhkan oleh redaksi adalah kelengkapan informasi! Bukan informasi yang menitik beratkan pada satu tempat!” teriak Kakakku dengan wajah letihnya.

“Tapi, informasi di sini sangat penting, Pak!”

“Apa jumlah kalian tidak cukup, sampai tujuh orang berada di sini? Kalau kalian begini! Kalian semua bukan lagi reporter! Tapi kalian adalah penyaksi! Sudah, saya mau pergi! Percuma saya mengandalkan kalian semua!” Kakakku tak mampu menahan emosi, dia meninggalkan semuanya begitu saja, berpindah semaunya dengan salah satu rekan. Tak lagi peduli dengan kondisi jalanan yang tampak bising dengan padanan kata kematian, ketakutan, kecemasan, dan hal-hal lain yang sepertinya merupakan dampak dari keguguran sebuah empati.

Di hari itu juga, dia menghubungiku dan menceritakan semua kejadian yang dilihatnya. Dan sampai hari ini, satu-satunya perkataan yang kuingat darinya adalah, “Dek, Kakak harap, kamu tidak bertindak brutal. Empat mahasiswa telah mati mengenaskan. Ada yang tertembak di bagian kepala hingga otaknya keluar. Kakak ingin kamu berhati-hati, jangan ikut-ikutan demo di jalanan. Bahaya ada di mana-mana. Jaga dirimu, Dek.”

*****

Kembali pada kami, empat orang pengecut yang beraninya hanya mengamati dari kejauhan. Di hari itu, aku, Wang, dan juga Arif, berada di ruangan terpisah dengan Fio. Kami melakukannya karena Fio sedang ingin melakukan sesuatu yang katanya rahasia. Sebelum dia bergegas pergi ke ruangannya sendiri, dia sempat memberi peringatan agar kami semua tak mengganggunya hingga dirinya selesai dengan urusannya.

Beberapa jam setelahnya, lima orang asing mendatangi kami semua. Mereka hendak mencari salah satu teman kami yang sama sekali tak jago bela diri, siapa lagi jika bukan Fio. Aku dan yang lain, kami mengira dua orang asing yang datang itu pasti suruhan papanya. Namun, mereka semua berbeda. Sehingga, kami harus memutar otak, siapa yang sebenarnya datang kepada kami malam-malam begini.

“Katakan, anak muda. Di mana temanmu itu? Jika tidak, aku bisa saja menembak kalian semua di sini! Mau kalian, ha?!” tanya lelaki itu dengan suara berat, aku menimbang kembali, kutatap Arif dan Wang yang masih berdiri di ambang pintu. Arif yang merupakan pemilik rumah, seketika mendelik, dia tidak mengira bila pasukan hitam sialan itu mendatangi rumahnya.

“Apa yang kalian cari di sini, ha? Rumah ini tidak lebih dari sekadar rumah reot. Bangunan tua ini hanya mampu menampung tiga orang. Dan lihat, kayu-kayunya bahkan sudah keropos. Seharusnya, saya dan kedua orang tua saya menggantinya dengan kayu yang baru. Tapi, keluargaku hanya orang miskin,” balas Arif dengan santai. Aku yang melihatnya menunduk, tak habis pikir dengan perilakunya yang masih berani.

Brak!

Sebuah pistol didobrakkan ke pintu reot yang hampir putus, tapi itu tetap saja tak membuat kami gentar. Rasa getir itu hanya sebuah ajudan bagi orang-orang putus asa, bukan kami.

“Sudah, jangan banyak bicara! Kalian bertiga, cepat geledah rumah ini!” pekik lelaki itu dengan suara lantang. Kami bertiga saling menoleh.

Arif yang sedari tadi kami kode, langsung memencet sebuah tombol untuk menyalakan televisi. Dia melakukannya untuk memberi tanda bahaya kepada Fio yang berada di atas. Orang-orang yang tadinya mencari keberadaan Fio, langsung menoleh ke arah kami.

“Apa yang kalian lakukan malam-malam begini?" tanyanya dengan suara lirih. Aku langsung menimpali.

“Kami hanya ingin mengecek antena tv ini. Tadi siang kabelnya rusak. Sebenarnya, kami sudah membetulkannya. Tapi, antenanya rusak lagi. Akhirnya, kamu memutuskan untuk mengecek antenanya setiap delapan jam sekali.” Aku menoleh ke arahnya sembari tersenyum, berusaha bersikap santai.

“Jangan berbohong! Dasar tidak berguna!” pekiknya dengan sikap tegas. Alhasil, aku pura-pura ketakutan di hadapannya.

Di satu sisi, ketiga orang itu dengan cepat bergerak ke atas, mencari sosok Fio. Kami semua membiarkan mereka bergerak bebas. Sebenarnya, di tempat itu semuanya terkesan aman. Kami tidak pernah menyimpan barang berharga.

Tapi, jika boleh jujur, sebenarnya kami semua takut bila orang-orang sialan itu menemukan Fio. Namun, kekhawatiran itu tiba-tiba saja menghilang.

Lihat selengkapnya