Rajutan Kisah Para Perantau

Rainzanov
Chapter #14

Gadis Cilik di Pasar Lama: Kisah di Balik Sebuah Penyelamatan, 1998

“Apa kalian bertengkar?” Zahra menaikkan salah satu alisnya, dia menggenggam kedua tanganku, erat sekali. Gerak tangannya seakan menahanku, aku tahu dia tidak rela jika aku pergi. Tapi, mau bagaimana lagi? Aku tidak mau menjadi seonggok kayu lemah yang terus saja berdiam diri dan membisu ketika hal-hal tak sejalan denganku terjadi dengan sendirinya.

“Tidak, Zahra. Aku tidak bertengkar dengannya, tidak ada satu pun dari kami yang bertengkar dengan Fio. Aku … aku harus menjemput adik Fio nanti sore. Dan sekarang, mumpung ada waktu, aku juga ingin mencari tahu di mana dia berada.” Aku mencoba membuat gadis di depanku tenang. Dan entah mengapa, dia tersenyum, menghapus tangisan miliknya dan mencium keningku. Apa dia sudah mulai tenang? Jika iya, aku bisa tenang juga karenanya.

“Baiklah, hati-hati, ya, Akbar.” Zahra tersenyum lebar, aku yakin dia tidak ingin meninggalkan kesan khawatir yang nantinya akan menghantuiku ketika aku pergi. Dan karena itulah, aku juga menampilkan senyuman, melakukan hal yang senada dengannya. Sebelum pergi, aku hendak memakaikan gelang berwarna hitam yang selama ini aku simpan di dalam saku celana.

“Berikan tangan kananmu, Zahra,” ucapku pelan. Gadis itu mengulurkan tangan kanannya, dan aku langsung mengenakannya di pergelangan tangan kanannya. Setelahnya, aku kembali mencium keningnya untuk terakhir kalinya.

“Zahra, jaga dirimu baik-baik, ya. Kalo kamu rindu aku, kamu bisa melihat gelang ini," pintaku sembari mengelus kepalanya. Gadis itu menganggukkan kepala.

“Tentu. Oh, iya, jika nanti aku ada tugas. Aku mungkin akan turun ke jalan bersama teman-teman lain. Jadi, jangan mencariku, ya. Aku akan menghubungimu untuk memberi tahu,” ucapnya sembari tersenyum ke arahku, aku tak paham tugas apa yang dia maksud. Tapi aku mengerti, hal itu pasti berkaitan dengan TRUK (Tim Relawan untuk Kemanusiaan).

“Baiklah, hati-hati, ya,” balasku kemudian. Aku menyunggingkan senyuman, lalu memeluk dirinya cukup lama, sampai aku merasa puas dan akhirnya memutuskan untuk melepaskannya.

Setelah perbincanganku dengan Zahra selesai, pandanganku terpusat kepada kedua orang yang ada di sampingnya, Lian dan Sarah. Aku yakin, mereka pasti sudah mendengarkan pembicaraanku dengan Zahra. Jadi, aku tidak perlu menjelaskannya lagi kepada mereka.

Alhasil, aku hanya melakukan perbincangan sederhana, sebelum akhirnya pergi meninggalkan ketiga perempuan itu. Di hari itu, kutelusuri setiap jalanan yang kini dipenuhi dengan beberapa riuh amarah dari manusia-manusia pembangkang sepertiku.

Berita harian tentang Desmond dan Pius mengudara di mana-mana, pula dengan kabar kematian empat mahasiswa Universitas Trisakti yang kini menjadi topik utama bagi warga setempat. Bagiku, ada yang aneh dari berita kematian empat mahasiswa itu.

Karena, jika dilihat di bagian depan koran, terdapat sebuah foto salah satu mahasiswa yang selamat dari tembakan-tembakan itu. Oh, iya, aku tahu jika Desmond tiba di Jakarta pada tanggal sebelas mei, dan tujuan kedatangannya sudah jelas, dia akan memberikan kesaksian di Gedung YLBHI. Sungguh, memikirkan persoalan-persoalan itu memang seru. Tapi, kali ini pikiranku lebih condong ke arah Fio.

“Fio, kamu di mana, kawan?” batinku menjerit tak karuan. Sungguh, aku sama sekali tak tenang karena hal ini. Tapi, mau bagaimana lagi? Dia benar-benar menghilang. Aku mati-matian mencarinya dari jam empat pagi hingga jam sebelas siang. Tetap saja hasilnya nihil. Akhirnya, kuputuskan untuk makan sebentar. Setelahnya, aku menunggu waktu untuk menjemput adik Fio.

Beberapa jam setelahnya, langit sore mulai bertegur sapa, dan aku semakin lama terbakar dalam rasa kesal. Karena nyatanya, ketika aku sudah mulai bosan dengan persoalan-persoalan sialan itu, nyaliku dibuat menciut setelah melihat ratusan pemuda dan remaja berpenampilan kumal; berwajah sangar dan bertatto; turun dari tiga gerbong KRL Jabotabek jurusan Bogor.

Orang-orang tak berperikemanusiaan itu mulai menjarah pasar lama tanpa pandang bulu. Mereka bak prajurit liar yang dibebaskan begitu saja karena kelaparan, dan aku semakin menggila dengan kejadian ini.

“Astaga, adiknya Fio di mana, ya?” batinku pelan. Aku bergerak ke depan, hendak mencari sosok gadis kecil nan polos di tengah kerumunan orang-orang kejam ini.

Tak jarang aku melihat mereka membakar ban, kayu, tong sampah, atau apa saja asalkan api bisa menyala. Setelahnya, tanpa hati nurani, mereka mulai melempar batu, mendobrak pintu, dan akhirnya menjarah pasar lama dengan gelagat mereka yang ganas.

“Bakar semua tempat! Ambil barang-barang berharga!” salah satu dari mereka berseru, lalu yang lain ikut menyerbu.

“Polisi anjing!”

Kulihat salah satu pemuda berkeliaran sambil membakar ban dan juga kayu. Akh, baiklah, tak apa. Aku paham kenapa dia antusias untuk memaki aparat kepolisian. Masalahnya, sampai detik ini, aku belum juga bertemu dengan adik Fio.

“Dira! Dira, kamu di mana, Dek?!” pekikku dari lantai bawah, kedua pandanganku menatap segalanya dengan awas.

Manusia-manusia itu mulai kelabakan, mereka berlari bak orang dikejar kematian, tak peduli lagi bila barang-barang di toko itu hangus terbakar dan menjadi arang. Kulihat beberapa peralatan toko dijarah, sebagian besar ada yang dibakar, lalu beberapa manusia mengambil kesempatan, mereka mengambil televisi, kipas angin, dan apa saja yang menurut mereka penting.

Lihat selengkapnya