Rajutan Kisah Para Perantau

Rainzanov
Chapter #15

Tragedi Klender: 1998

Untuk pertama kalinya aku mati kutu, tak ada yang bisa kuharapkan selain pengertian dari gadis kecil nan lugu ini. Kuperhatikan sejenak kedua mata yang tadinya abai, aku paham bila dirinya tak mau melihatku.

"Ya Tuhan, apa kau akan terus membuat gadis ini diam di hadapanku? Aku benar-benar butuh jawaban atas pertanyaanku," batinku meraung keras, membiarkan semuanya bergerilya tanpa sebuah palang.

Sampai akhirnya, runguku kembali mendengar gadis itu bersuara.

"Kakak, maafin Dira karena udah bentak-bentak Kakak," ucapnya pelan.

Deg!

Apa-apaan ini?! Kenapa di saat-saat seperti ini, dia malah meminta maaf padaku?! Sungguh, ini semua tidak masuk akal. Karena, terlepas dari apa yang sudah kulakukan! Dia seharusnya marah, dan tak perlu meminta maaf padaku!

"Ka ... kamu nggak perlu minta maaf, Dira. Aku paham gimana perasaan kamu. Justru, Kakak yang harus minta maaf sama kamu," ucapku dengan suara lirih.

Aku menundukkan kepala, hendak merangkulnya. Kusandarkan kepalanya di pundakku. Lalu, kubiarkan dirinya menangis sebagai perwujudan dari amarahnya. Di hari itu, kutengok segala penjuru yang menyuarakan duka dan luka.

Akh, Tuhan. Negeriku porak-poranda. Orang-orang saling berhamburan, banyak dari mereka yang memiliki nasib sama seperti Dira. Tapi, ada hal yang paling aku takutkan. Karena dari tadi, pikiranku sebenarnya terpenjara.

Zahra, gadis yang aku cintai, dia kini menjalankan tugasnya sebagai tim relawan. Aku mengetahuinya karena dia mengabariku sejak tadi. Hanya saja, aku tidak memberikannya jawaban. Kini, dia melakukan perjalanan mengerikan bersama seorang dokter, tim relawan yang lain, dan seorang wartawan.

Mereka menuju ke Klender yang pastinya jauh dari sini. Setibanya di sana, Zahra duduk dengan segala amarah di kepalanya. Dia tak menyangka bila pasukan-pasukan tak berguna itu hanya berdiam diri dan membisu.

Brak!

"Saya nggak nyangka kalo orang-orang seperti mereka hanya berdiam diri melihat kekacauan di sini! Apa mereka tidak punya hati nurani?!" pekik pimpinan Zahra. Beliau mendobrak pintu mobil ambulance, sorot wajahnya menunjukkan amarah yang tengah bergemuruh di dalam dirinya.

Zahra menelan ludah, sebelum akhirnya bersuara, "Yah, apa yang Anda bicarakan itu benar, Pak. Kita tidak bisa diam saja."

Ia dan pimpinannya langsung pergi ke luar, tak peduli jika mereka berhadapan dengan manusia beringas yang mati nurani di sana. Di sekitar mereka, banyak manusia menjerit kesakitan, banyak manusia menderita karena kehilangan, ada yang mencoba kabur, bertahan, dan menyelamatkan orang-orang yang mereka cintai. Tapi, rasa-rasanya, itu semua percuma.

"Hei! Kalian semua! Orang-orang yang ngakunya punya pangkat! Ke mana hati nurani kalian, ha?! Sudah berapa lama kalian menjadi patung?! Apa kalian tidak melihat bagaimana orang-orang di atas sana teriak-teriak untuk meminta tolong?! Apa kalian tuli?!" lelaki berjanggut tebal itu, menunjukkan amarahnya, ia dikenal dengan Pak Aris. 

Ia, dengan keberaniannya, mengepalkan kedua tangannya, memberi isyarat mengenai sebuah persiapan. Yah, Beliau hendak meninju rahang bawahnya.

"Kalo kamu mau cari mati! Ya udah, sana! Selamatkan saja sendiri!" jawab salah satu pasukan dengan berani.

"Ck! Sialan!" sang pimpinan tak terima. Zahra yang berada di sana, seketika menengok ke atas, memperhatikan bagaimana orang-orang berjalan di tengah bara api yang terus membara. Lantas, karena tak tahan, Zahra akhirnya bersuara.

"Pak, apa Bapak buta sampai tidak ada satu pun orang yang mau membantu mereka?! Bayangkan kalo orang-orang itu adalah keluarga kalian! Apa kalian akan tetap diam saja?" teriak gadis itu dengan berani.

Para petugas itu saling menoleh. Dan tanpa rasa bersalah, mereka menertawakan sosok Zahra, menganggap ucapannya sebagai humor, kemudian melupakan, dan membuangnya bak sampah jalanan.

Buk!

Zahra mendapat pukulan dari tongkat yang dipakai salah satu petugas di bagian kepala.

"Terus, apa masalahnya, ha?! Silahkan saja kalo mau bantu! Dasar, najis! Kalo aku yang menyelamatkan mereka! Nyawaku bisa saja hilang, kan?! Punya otak digunain, Mbak! Saya nggak mau mati!"

Pimpinan Zahra seketika marah, dia membela gadis itu dengan jalan meninju bagian perutnya.

Lihat selengkapnya