Rajutan Kisah Para Perantau

Rainzanov
Chapter #17

Upaya Pelarian Dokumen Penyintas Korban 1998

Setelah pertemuan itu, hari-hariku kembali berjalan normal. Aku pun semakin mengenali Zahra, dan begitu juga dengan sebaliknya. Semuanya terlihat normal, hingga suatu hari, aku dan Zahra mendengar berita tentang TGPF. Dan di saat itulah, untuk pertama kalinya, aku meragukan keputusannya.

"Akbar, kamu tahu, kan? Tim TGPF hadir di sini untuk mencari tahu tentang korban kekerasan tahun 98. Dan aku rasa, aku mau melaporkan kejadian kemarin," ucap Zahra.

Deg!

Nah, ini lah yang aku permasalahkan. Hal-hal seperti inilah yang aku takutkan. Namun, apa boleh buat. Aku hanya bisa menghembuskan napas, lalu menoleh ke arahnya.

"Kamu yakin, Zahra? Kenapa nggak orangnya sendiri yang ngurusin masalahnya, ha?" tanyaku pelan.

"Bar, dia nggak berani ungkap kasus ini, dan dia udah menyerahkan ini ke aku. Aku ketemu dia seminggu yang lalu, dan dia memintaku untuk melakukannya. Ayolah, aku mohon," pintanya pelan, ia menggenggam kedua tanganku.

Sedangkan aku yang ada di depannya, berusaha mencegahnya.

"Zahra, aku takut kamu kenapa-napa. Kamu tahu sendiri, kan? Orang-orang itu bisa saja balas dendam. Kamu kan bilang sendiri ke aku, Zahra," ucapku dengan suara lantang.

"Aku nggak peduli, Bar. Ini demi keadilan, mereka berhak mendapatkan pertanggungjawaban yang sesuai, Akbar," balasnya.

"Tapi, gimana kalo kamu dalam bahaya, Zahra? Aku nggak mau kamu kenapa-napa," tuntutku, aku sama sekali tak menyukai keputusannya.

"Fine! Kalo kamu nggak mau anterin aku! Biar aku sendiri yang ke sana!"

"Ck! Sialan!" jeritku dari dalam hati. Inilah yang aku takutkan, dia benar-benar menjadi perempuan gila. Dan aku tak tahu, apa yang harus aku lakukan. Jika aku tidak menuruti keras kepalanya itu, aku sendiri yang celaka.

"Baiklah! Akan kuturuti kemauanmu," balasku sembari berlari dan menggenggam tangan kanannya dari belakang. Zahra langsung berbalik ke arahku, memelukku bak anak kecil yang baru saja mendapat hadiah, lalu mencium keningku sebagai ucapan terima kasih.

Sayangnya, di hari itu kepalaku hampir meledak. Namun, aku hanya bisa menyimpannya sendirian. Oh, Tuhan, aku harap, Kau selalu melindungiku dan orang-orang yang aku sayangi. Aamiin.

******

23 Juli 1998

Depok hari ini sangat cerah, begitu juga dengan kedua baju yang kami pakai. Zahra memakai baju berwarna biru laut. Di bajunya itu, terdapat beberapa gambaran lembut dari bunga mawar sebagai hiasannya. Yah, semuanya begitu cerah, dan terkesan indah.

Tapi, sebenarnya aku takut dengan apa yang akan terjadi hari ini. Pasalnya, ada beberapa hal yang tak akan kuketahui nantinya.

"Bar, kamu udah siap?" tanyanya pelan. Sungguh, aku tak tahu apa yang harus aku lakukan, sekarang. Tapi, yang bisa kulakukan hanya mengikuti kemauan gadis kecilku.

"Siap, Zahra."

Gadis itu tersenyum, lalu mengedarkan pandangan. Aku pun juga begitu, hendak memastikan bahwa suasana di sana dalam batas aman. Setelah memastikan semuanya aman, kami berdua turun ke jalan.

Jika boleh jujur, turun ke jalan adalah pilihan menegangkan. Aku hampir ngos-ngosan karena beberapa mata terkesan mengancam.

"Zahra, kamu yakin, kita bakalan ngelanjutin ini? Aku takut kita kenapa-napa nantinya," aku berusaha memperingatkan gadis cilik itu. Lantas, untuk sepersekian detik, gadis itu menganggukkan kepala.

"Iya, lanjutin aja," balasnya pelan. Kami berdua masih saja melaju, bak angin dingin yang menyerbu ganasnya angin panas. Begitulah suasana yang bisa kugambarkan.

Di hari itu, tangan-tangan alam seakan membuat kami tercekik. Aku dan Zahra, kami berdua dilanda kebingungan hakiki, karena empat orang tiba-tiba berdatangan dan menyerbu kami. Masing-masing dari mereka memiliki tatto elang di bagian lengan kirinya. Satu orang berambut ikal dan hampir tak memiliki rambut di kepalanya.

Lalu, dilanjutkan dengan orang kedua yang terkesan polos, tapi wajahnya sangat beringas, karena ada tiga luka jahit di bagian pipi kanan dan kirinya. Dua lainnya memiliki rambut cepak dan berwarna cokelat.

Prang!

Mereka melempar sebuah kaleng berisikan sebuah surat.

"Hentikan, Akbar. Ada yang melempar kita dengan sebuah kaleng," Zahra menepuk pundakku, dia berusaha memberiku kode. Akhirnya, kuhentikan motor secara paksa.

Zahra segera turun, mengambil kaleng, dan melihat isinya. Saat-saat mencekam itu terjadi. Zahra menoleh ke arahku dengan wajah ketakuan. Ia pun berjalan dan berbisik lembut di telingaku.

"Kita harus pergi dari sini, Akbar. Se-ka-rang!" tegasnya.

Deg!

Aku melototkan kedua mata. Kedua tanganku dengan sigap menyalakan motor. Detik itu juga, nadiku berdetak cepat. Sesekali, aku menggigit bibir.

"Apa ada sesuatu di dalam surat itu?" tanyanya dengan suara pelan.

"Dia mengancam kita berdua dengan kematian. Hanya itu."

Deg!

Aku merasa bodoh dengan perkiraanku sendiri! Dulu, kurasa, aku mampu mengendalikan kondisi ini, semuanya bahkan dalam kondisi aman dan terkendali. Tapi, ada yang lebih mencengangkan dari semua ini.

Empat orang itu tiba-tiba menghadangku. Mereka, dengan jumlah masing-masing dua orang di sisi kanan dan kiriku, hendak mengapitku dengan sepeda motor miliknya.

Lihat selengkapnya