Setelah kejadian itu, hubunganku dengan yang lain semakin akrab. Oh iya, kalian harus tahu. Aku akan menyelesaikan semuanya di bab ini.
Dimulai dari pertemuanku dengan Zahra setelah dirinya berhasil melaporkan kasus itu kepada pihak TGPF. Kami berdua menjalani hari dengan penuh makna. Dan beruntungnya, aku, Zahra, dan juga yang lainnya lulus kuliah tepat waktu dengan nilai terbaik.
Setelah kami semua selesai menjalani masa perkuliahan, aku memutuskan untuk pergi bekerja, tentunya sesuai dengan visi yang kurencanakan. Pergi ke luar negeri, tepatnya ke Australia. Sebelum itu, aku menyempatkan diri tuk menghabiskan waktu bersama dengan Zahra, dan juga yang lainnya.
Oh ya, setelah kami lulus, Zahra, Sarah, dan Lian, sibuk bekerja di perusahaan ternama. Mereka masih bisa saling terhubung karena bekerja di kantor yang sama. Sedangkan aku, Fio, dan Arif, kami bertiga bekerja di Australia. Dan untuk Wang, dia akan pergi ke Amerika untuk melanjutkan studi kuliah dan bekerja.
Meski begitu, aku dan yang lainnya masih terhubung satu sama lain. Beberapa tahun setelahnya, aku kembali ke Indonesia dan menikah dengan Zahra. Kami memiliki dua anak dan membangun yayasan untuk anak-anak kurang mampu.
Sejak itu juga, aku memilih untuk menetap di Jakarta bersama dengan istri dan anak-anakku.
********
Suatu hari, telat di tahun 2008, kami berdua duduk bersama di halaman rumah. Anak-anakku sedang bermain bola, dan aku memperhatikan mereka sambil meminum teh hangat dengan istriku.
"Ayah, kapan Mochtar sama yang lain ke sini, ya? Aku udah pengen nonjok tuh anak, serius," keluh Zahra dengan wajah merengutnya.
"Idih, ngeri amat? Kenapa bisa gitu?"
"Kamu masih tanya kenapa? Dia nggak dateng di acara pernikahan kita, loh. Jelas aku marah! Padahal, yang lain bisa dateng. Eh, giliran dia? Heran sama tuh anak, sibuk terus kerjaannya!" omelnya sembari memegang cangkir dengan amarah menggebu-nggebu. Aku yang mendengarnya, lantas tertawa.
"Kamu kan, tahu. Mochtar sekarang lagi sibuk banget, dia itu jadi dosen di Amerika. Jadi, jangan ditanya kesibukannya seperti apa," balasku kemudian. Zahra hanya diam, tak terima, tapi, dia sengaja melakukannya. Karena aku tahu, dia paling malas ribut.
Tapi tetap saja, jika dia diam saja, aku yang kebingungan. Alhasil, aku mencoba tuk merayunya.
"Zahra, kamu-"
"Waduh, dari tadi, kayaknya ada yang ngambek sama aku, ya?!" potong seseorang yang bagiku sangat tak asing.