Dermaga itu. Hari perlahan sore saat Gita menunggu Raka dengan getir, Dahulu, Raka sering membawanya ke sini selepas kuliah. Melihat hamparan laut yang tenang sambil mendengarkan ceritanya tentang kisah-kisah yang akan ia buat novel. Raka pun terkadang menulis puisi untuknya di sini, atau, Raka akan membacakan puisi yang akan ia kirim ke koran mingguan. Gita selalu menjadi pendengar sekaligus pembaca pertamanya. Namun kini segalanya tinggal cerita yang akan selalu ia baca dalam buku ingatan. Beberapa bulan kebelakang Raka telah berubah. Fokusnya benar-benar kepada novelnya. Ia benar-benar terobsesi menjadi seorang penulis.
Sebenarnya, jauh dalam benaknya. Gita mendukung Raka untuk menjadi penulis. Apalagi Raka memang memiliki bakat. Hanya saja Raka kurang beruntung ketika harus berhadapan dengan penerbit nasional. Nasakahnya selalu dikembalikan. Gita pun kagum pada semangat Raka yang tak kunjung padam meskipun penolakan itu terjadi berkali-kali. Terjadi pada semua naskah yang ia kirim.Akan tetapi, semangat positifnya itu hanya Raka tujukan pada passionnya, bukan pada tanggung jawab lain yang harus ia selesaikan, kuliahnya.
Gita selalu mengingatkan Raka. Bahkan ia memiliki akses kepada KRS Raka. Gita tahu betul berapa SKS yang Raka ambil berikut jadwalnya. Gita terus mengingatkan Raka dengan segala cara, bahkan sampai menghubungi mamanya. Tapi kadang Raka tak pedulikan. Raka benar-benar tak mennjadikan kuliah sebagai perioritasnya.
Sebenarnya, ada alasan lain yang membuat Gita sedikit cemas perihal masa depan Raka. Selain karena Raka tertinggal jauh darinya dalam sisi akademis, Gita pun sudah merencanakan untuk mengambil S2 di Jerman. Hal itu tentunya akan semakin melebarkan jarak antara ia dan Raka. Gita ingin Raka memiliki kemajuan dalam kuliahnya. Menyelesaikan semua mata kuliah yang tertinggal agar tak terlalu lama lulusnya. Diperkirakan Raka akan lulus dalam waktu 2 tahun lagi jika ritme kuliah Raka begini, belum lagi ancaman drop out jika lagi-lagi IPK Raka rendah. Situasi yang sangat berlawanan dengan apa yang Gita alami saat ini. Gita mencuat sebagai pemegang IPK tertinggi di angkatannya. Ia pun diprediksi akan lulus cumlaude. Lantas, jika Gita lulus, apa Raka masih akan tetap begitu? Mementingkan hal lain yang tak seharusnya ia jadikan perioritas utama saat ini? Bukannya, Ketika tanggung jawab kuliahnya selesai, Raka akan bebas menjadi penulis? Ia bisa membangun karirnya tanpa ada gangguan dan tekanan dari keluarganya? Gita begitu dalam memikirkan Raka, pria yang sampai saat ini membuatnya menunggu.
“Maaf, aku telat!” terdengar suara Raka dari belakang. Gita menoleh, mendapati kekasihnya itu dengan wajah yang kurang tidur. Raka benar-benar tampak tak mengurus dirinya.
“Baru 40 menit, lebih baik dari terakhir kali kamu terlambat!” jawab Gita, satir.
Raka berjalan ke tepi dermaga dan duduk di samping Gita. Ia tampak menghirup udara laut di sore itu. Angin berembus pelan nampaknya cukup sedikit menyegarkannya. Gita tahu benar, Raka lebih banyak menghabiskan waktu di ruangan sambil merokok dan menikmati kopi sambil menulis.
“Kamu mau ngomong apa?” tanya Raka. Gita langsung menatap Raka dengan sebal. Hampir 3 minggu mereka tidak bertemu dan Raka sama sekali tidak menanyakan bagaimana kabarnya?
“Banyak hal, Raka!” tegas Gita.
Terdengar helaan napas Raka, “Iya, aku sadar. Memang banyak yang harus kita bicarakan!”
“Biar aku yang mulai,” sahut Gita. Ia menatap lurus pada hamparan laut di hadapan mereka.
“Iya, aku bisa nebak, banyak pertanyaan buatku dari kamu!”
“Raka, apa rencana kamu tentang kita?” tanya Gita.
Raka berpikir sebentar, pertanyaan itu sebenarnya sudah ia duga. Ia sadari, belakangan ini ia mulai jarang menghubungi Gita. Selain sebal karena terlalu banyak ikut campur dalam urusan Raka, ia pun sudah mulai tak nyaman dengan sikap Gita yang mulai mengaturnya seperti papanya.
“Kita butuh jeda, Gita,” jawab Raka singkat.
Gita menoleh lagi pada Raka. Itu bukan jawaban yang ingin ia dengar, “Jeda itu bukan rencana, Raka!”
“Lalu kamu mau apa? Kamu mau aku jadi seperti yang kamu mau? Yang bisa kamu atur biar hidupku ideal kayak yang lainnya? Kayak hidupmu?” Raka ganti mencecar Gita dengan pertanyaannya.
“Aku nggak berusaha mengatur kamu. Semua sikapku ke kamu belakangan ini adalah perhatian buat kamu! Aku peduli sama kamu! Aku nggak mau kamu terus terpuruk, Raka!”
“Aku nggak ngerasa kamu perhatiin! Aku lenbih gerasa kamu itu awasi aku. Segala yang aku lakukan sekarang salah, kan, buat kamu? Gita, aku kehilangan kamu yang dulu. Kehilangan kamu yang ngedukung aku!”
“Aku nggak pernah berubah Raka. Aku selalu mendukung setiap hal yang baik buat kamu. Tapi untuk saat ini, kamu..”
“Aku apa?” Raka memotong ucapan Gita.
“Kamu nggak realistis. Impianmu itu udah jadi obsesi yang berlebihan. Ketika kamu gagal, harusnya kamu berusaha dulu buat menata strategi yang baik buat hidupmu. Bukan terus melawan hal yang masih terlalu kuat untuk kamu kalahkan!”
“Aku nggak tahu, ya, arah omongan kamu kemana? Tapi kalau aku bisa sederhanakan, kamu udah nggak dukung aku lagi! Kamu nggak percaya kalau suatu hari aku bisa jadi penulis hebat!”
“Gitu cara kamu ngambil kesimpulan?” Gita tak habis pikir dengan ego Raka.
“Gitu juga cara kamu mengambil kesimpulan tentang aku?”
“Kesimpulan aku itu fakta untukmu sekarang!”
“Jadi aku harus hidup dalam framing kamu? Aku harus ngikutin caramu?”
“Aku nggak pernah berusaha untuk framing hidupmu. Aku hanya mau kamu lebih perhatikan masa depan kamu. Karena apa? Kamu tahu, Raka? Aku selalu berharap masa depanmu itu masa depanku juga!”
Raka terdiam sebentar. Pembicaraan terasa begitu emosional. Apalagi Ketika ia menatap mata Gita yang mulai berkaca.
“Hal yang paling aku takutin adalah, kita harus berpisah karena kita nggak bisa menentukan arah di persimpangan,” ujar Gita lagi, air mata mengalir sekali dari mata coklat gelapnya. Ia terlihat pilu.
Perlahan Raka menggenggam tangan Gita, ia seka sisa air mata Gita. Gita hanya tertunduk, sedu sedang menelusup di antara suara ombak.
“Aku tetap melangkah kepada arah yang sama Gita. Arah yang mau aku tuju sejak kelulusan SMA dulu.”
“Kalau gitu, selesaikan kuliahmu. Tunjukkan sama orang tuamu kamu bisa! Setelah itu kamu bisa fokus jadi penulis!” pinta Gita.
“Andai semua sesederhana itu, Git.”