Raka tak terkejut ketika mendapati namanya masuk dalam daftar mahasiswa pra drop out di kemahasiswaan. Surat panggilan menghadap pembimbing akademik sudah ia terima. Raka tak memiliki rencana apapun saat ini. Ia hanya ingin menyegarkan pikirannya di UKM Seni yang merupakan tempat yang paling sering ia datangi di kampusnya.
Ia melangkah meninggalkan papan pengumuman yang memalukan bagi mahasiswa yang namanya tercamtum di pra drop out itu, tapi Raka biasa saja. Ia mungkin satu-satunya mahasiswa yang menerima apa adanya situasi yang dialaminya saat ini. Ia memang sudah tak benar-benar peduli lagi akan semuanya.
“Raka!” seseorang memanggilnya. Ketika Raka menoleh, ia mendapati Iwan berlari kecil ke arahnya. Itu teman satu angkatannya yang juga ketua angkatan.
“Hei, Wan!” respon Raka santai.
“Gila lo, ya, baru kelihatan! Udah berapa UAS lo lewatin?” Iwan mendorong pelan bahu Raka. Sedikit mengomel.
“Gue ada kesibukan lain!” Raka melangkah kembali meninggalkan Iwan.
“Kesibukan apa yang buat lo ninggalin kuliah gini? Lo harus pikirin, dong!” Iwan membarengi Langkah Raka.
“Gue udah mikirin dan gue kayaknya nggak bisa terus-terusan di sini!” jelas Raka.
“Maksud lo?”
Raka menghentikan langkahnya. Ia menatap Iwan yang memang dekat dengannya dari awal kuliah, “Ini bukan tempat gue, Wan! Jiwa gue bukan di sini! Gue selama ini terpaksa ngejalani semua ini! Gue harus nentuin pilihan hidup gue, Wan!”
Iwan terkejut, “Lo mau cabut dari kampus?”
Raka tertunduk, ia tampak resah, “Kalau itu satu-satunya jalan?”
“Ya pasti ada jalan lain, lah! Lo masih bisa perbaiki semuanya. Lo tinggal ngulang mata kuliah!” saran Iwan yang sebenarnya sudah muak Raka dengar.
“Kita lihat nanti, Wan!” Raka melangkah lagi meninggalkan Iwan.
“Raka! Minggu depan gue seminar hasil! Lo pasti datang, kan?” ujar Iwan dari tempatnya berada sembari melihat Raka yang semakin menjauh.
“Gue usahakan!”
“Gue, kan, bareng Gita seminarnya! Dia nggak kasih tahu lo?” Iwan tidak tahu tentang berakhirnya hubungan Raka dan Gita.
Raka diam saja, ia terus berlalu meninggalkan Iwan. Dalam benaknya ia kembali mengenang Gita yang kemarin ia tinggalkan. Ia selalu berharap Gita dapat mencapai semua target hidupnya. Lulus dengan cumlaude dan melanjutkan S2 di Jerman. Minggu depan, persimpangan itu mulai nyata dan Raka akan menentukan secara pasti jalannya. Jalan yang berbeda dengan jalan Gita.
Raka telah sampai di Gedung UKM Seni. Ia menapaki anak tangga untuk menuju ruangan produksi di lantai 2. Ia langsung disambut papan pengumuman lagi, tapi papan pengumuman yang kali ini membuatnya tampak tertarik. Ada sebuah undangan dari UKM Seni kampus Khalila yang akan mengadakan pertunjukkan teater besok malam. Raka langsung mengambil ponselnya, ia baru ingat pernah meminta nomor Khalila. Meski awalnya ragu, ia pun menelepon Khalila.
*
Selepas latihan terakhir untuk pementasan. Khalila melepas penat di sisi panggung. Kipas yang ia gunakan sebagai property menari tadi kini ia gunakan untuk mengipasi dirinya. Hari ini, suasana hatinya sangat baik. Lelah tak terlalu terasa seperti latiahn-latihan sebelumnya. Hal itu terjadi karena tadi siang Raka meneleponnya. Ia tak menyangka bahwa selebaran pentas teater itu akan sampai juga ke kampus Raka.
Sekitar 30 menit mereka berbicara. Raka cukup terkejut ketika mengetahui Khalila akan tampil dalam pementasan itu sebagai penari pembuka. Hal yang membuat Raka tanpa berpikir panjang langsung memutuskan untuk datang. Khalila menunggunya datang sambil ia berpikir, kini ganti Raka yang menontonnya setelah sebelumnya, bertahun-tahun lalu, ia yang menonton Raka di lapangan basket sekolah. Menjadi pendukung nomor satu Raka. Meski saat itu, Raka tak pernah menyadari kebaradaannya.
“Khal? Udah istirahatnya?” tanya Gista, senior sekaligus pelatihnya.
Khalila hanya mengangguk dan bersiap kembali berlatih.
*
Selalu sunyi dan dingin, itulah yang Raka rasakan di makan malam keluarganya ini. Tidak banyak pembicaraan menarik yang mampu menggugah selera makannya selain ocehan papanya tentang kuliahnya dan bagaimana prosepek kedepan menjadi seorang pegawai negeri dan peternak ikan. Ya, itu rencana papanya untuk Raka.
Untuk kesekian kalinya, papanya menanyakan lagi tentang kuliahnya. Menjadi topik pertama yang diucapkan di meja yang seharusnya bersuasana hangat dan dekat ini.
“Jadi, kapan kamu praktek kerja lapangan?” tanya papanya.
“Belum tahu, Pa!” jawab Raka singkat.