Pagi adalah sebuah nuansa klasik yang menjadi simbol penyemangat dan sebuah analogi untuk sesuatu yang baru. Riuh yang dimulai di jalanan, adukan secangkir kopi di rumah-rumah dan perbincangan akrab di meja sarapan. Rasanya, hanya Raka yang harus menjalani satu dari berbagai gambaran narasi tersebut. Tidak ada adukan kopi pagi, apalagi sebuah kehangatan saat sarapan. Baginya, pagi ini adalah sesuatu yang baru. Suatu transisi dalam hidupnya. Segala keluh kesahnya telah ia tumpahkan pada Khalila dan kini ia harus mengambil sikap layaknya seorang lelaki paling berani. Ia telah memilih.
Ia panggul ransel besarnya di sebelah bahunya. Ia buang semua ragu. Ia langkahkan kakinya mantap keluar kamar. Berjalan di koridor menuju meja makan dimana semua keluarganya akan menghabiskan waktu sampai pukul delapan di sana. Ini akhir pekan dan semuanya pasti berkumpul.
Hanya terlihat papanya dan Sebastian. Sementara mamanya masih di dapur. Papanya menatap Raka dengan tatapan kesal seperti biasanya, sementara Sebastian bingung seperti biasanya.
“Abang mau ke kampus?” tanya Sebastian dengan polos.
“Nggak, Bas, abang harus selesaikan urusan abang.”
“Lho, Raka, kamu mau kemana?” kini mamanya yang baru keluar dari dapur bertanya.
Raka hela napasnya. Semoga keputusan ini bisa ia pertanggung jawabkan kelak. Itulah harapannya.
“Raka mau fokus sama pilihan Raka. Udah saatnya Raka lepaskan semua dan benar-benar fokus sama tulisan Raka. Raka benar-benar serius jadi penulis!”
“Raka!” mamanya gusar.
“Kalau mau jadi penulis, jangan di rumah ini!” sahut papanya sambil berpura-pura cuek, ia mengambil korannya.
“Ya, Raka nggak akan di rumah ini! Raka akan pulang kalau impian Raka udah terwujud! Itupun kalau masih di terima!”
“Raka, kamu jangan ngomong gitu! Ini rumah kamu! Kamu mau pergi kemana, hah?” tanya mamanya sambil berjalan ke hadapan Raka.
“Raka punya banyak teman, Ma. Mama jangan khawatirkan Raka. Semua akan baik-baik aja!” Raka menatap mata bunya yang mulai berkaca.
“Kamu pikirin lagi, jangan kebawa emosi sesaat! Hidup di luar itu berat!” mamanya yang memang paling peduli kepada Raka tampak berat ditinggal Raka.
“Hidup di sini juga berat, tapi Raka bisa bertahan. Raka akan tinggal di Sekretariat Rumah Buku punya teman Raka, Ma!”
“Terus nanti gimana kamu makannya? Siapa yang ngurus?” mamanya benar-benar tak rela ditinggal Raka.
“Biarin aja! Udah hebat dia itu hoy! Udah jagoan. Udah bisa hidup sendiri!” sahut papanya dengan nada sinis.
“Papa!” mamanya menegur papa.
“Udah, Ma. Raka nggak mau mama dan papa berantem gara-gara Raka!” Raka kemudian meraih lengan ibunya, menciumnya. “Maafin Raka yang udah buat kisruh di rumah! Maafin Raka nggak bisa jadi contoh yang baik buat Ibas. Maafin Raka yang udah kecewain mama dengan keputusan yang Raka ambil!”
Mamanya mulai menangis. Raka kini menatap mamanya. Haru langsung menyeruak dalam benaknya. Melihat air mata seorang ibu yang menangis karenanya adalah goresan luka yang paling dahsyat di dada laki-laki. Tak butuh waktu lama, air mata Raka pun menetes. Ia peluk mamanya dengan erat. Mamanya terus berupaya meyakinkan Raka untuk tinggal, tapi Raka telah bertekad untuk pergi. Ia melepaskan perlahan peluknya. Mamanya masih meraih lengannya tapi ia genggam lengan itu, ia kecup sekali lagi dan ia lepaskan. Raka langsung membalikan tubuhnya untuk berjalan menuju suatu pilihan hidupnya. Semuanya berat, tapi ini adalah satu-satunya cara agar ia tak terus-terusan jadi pecundang dalam kehidupan.
“Raka!” panggil mamanya lagi.
“Biarin aja, Ma!” ujar papa.
“Pa, itu anak kita! Kenapa papa terus-terusan keras kepala? Papa mau kehilangan Raka!” bentak mama.
Papa meletakkan koran yang pura-pura ia baca. Ia menarik napas penuh keresahan. Sekeras-kerasnya papanya mendidik Raka dan adiknya, ia adalah ayah yang sangat mencintai kedua anak lelakinya.
“Biarin dia belajar!” jawab papanya singkat.
“Belajar apa? Dia ninggalin kuliah dan mau hidup di luar papa biarin?” hardik mamanya.
“Papa cuma mau Raka dapat hidup yang baik. Hidup yang terjamin. Supaya dia tidak mengalami susah kayak kita dulu, Ma. Tapi rupanya memang anak itu sepertiku,” papa bangkit dan berjalan menghampiri mama.
“Raka itu adalah papa 30 tahun lalu. Nekad ninggalin kampung buat bisa kuliah. Optimis sama kemauan!” lanjut papa. Mama dan Sebastian hanya mendengar.