Ada resah yang menumpuk di dadanya. Kepalanya dipenuhi bayang Khalila dan pacarnya barusan. Baru pertama kali ini Raka cemburu dan konyolnya itu bukan buat orang yang ia sebut pacar. Rasanya ingin ia buang sesak yang memenuhi dadanya di jalanan senggang kota ini. Seorang diri menjalani cemburu. Ia sadari, jatuh cinta sepihak itu adalah upaya membuat luka. Raka merasakan apa yang Khalila rasakan dulu. Ketika Khalila tahu Raka dan Gita berpacaran.
Raka duduk sejenak di sebuah halte. Menanti angkutan kota yang sudah jarang lewat malam ini. Ia sengaja pulang lebih dulu meninggalkan Arman, temannya di Sekretariat Rumah Buku dan melewatkan pertunjukkan teater. Raka bahkan belum bertemu dengan teman-teman UKM-nya dari kampus.
Raka mengambil ponsel di saku celananya. Ia dapati sebuah pesan dari Khalila yang menanyakan keberadaannya. Raka tak membalasnya tanpa alasan yang pasti. Sebenarnya, untuk apa Raka marah kalau Khalila bukan siapa-siapanya? Untuk apa juga harus cemburu kalau Khalila memiliki pacar? Andai saja semua bisa terlogikan, mungkin Raka detik ini tak pernah menyadari bahwa ia sedang patah hati.
Raka patah hati..
Tapi ia tersenyum. Meski perih, ia jaga semua perasaan ini. Ia ingat dengan detail setiap hal yang membuatnya seperti ini. Ia ingat juga setiap pertentangannya dengan papanya hingga perpisahannya dengan Gita. Semua perasaan-perasaan itu kini memenuhi kepalanya. Membangkitkan suatu hasrat dalam dirinya. Menggerakkan kaki-kakinya sehingga mulai kembali melangkah. Kini yang ia tuju hanya satu hal, meja kerjanya di Rumah Buku.
*
Lima menit sebelum pukul satu pagi. Arman terkejut mendapati gerbang tempat tinggalnya terbuka. Tak butuh waktu lama untuk Arman menyadari bahwa orang yang meninggalkannya rupanya pulang duluan. Ia tak habis pikir, orang yang mengajaknya nonton teater malah pulang lebih dulu dan tidak ikut dalam diskusi. Lekas Arman memacu motornya masuk ke pelataran.
Arman dapati Raka tampak fokus dengan komputernya. Ia tampak lancar mengetik sesuatu. Arman langsung menghampirinya.
“Lo yang ngajak, lo yang pulang duluan!” ujar Arman sambil menghidupkan rokoknya.
“Eh, Man! Gimana, seru?”
“Seru an diskusinya daripada teaternya!” Arman berdiri di belakang kursi Raka, melihat yang ia tulis. “Lanjutan novel lo?”
Raka mengambil rokoknya di asbak, ia hisap sekali, “Cerita baru, Man! Gue yakin ini bakal kelar!”
“Lo itu, ya! Kalau nulis itu selesaiin satu-satu dulu, jangan mulai yang baru terus. Inget, bro, naskah yang bagus itu naskah yang selesai!” ujar Arman.
“Masalahnya sebelum gue nulis naskah ini, gue nggak bisa buat naskah yang bagus!” kilah Raka.
“Emang lo nulis cerita apaan, sih?” Arman menelaah tulisan Raka.
“Cerita gue sendiri!”
“Narsis banget lo!”
“Bukan narsis, ini adalah cerita yang gue kenal. Cerita yang gue alami. Bukan cerita rekaan seperti sebelumnya. Mungkin itu yang buat gue stuck. Gue maksa nulis sesuatu yang nggak gue rasakan!”
“Sebelumnya lo bisa kelarin novel, lo kirim ke penerbit lagi!”
“Ya, tapi ditolak, kan? Karena gue yakin, cerita itu nggak ada nyawanya!” Raka terus membela diri.
Arman beranjak dari posisinya, ia tak terlalu tertarik berdebat dengan Raka, “Ya, semoga yang ini bisa terbit, ya!”
“Ini akan terbit dan nama lo bakal masuk di ucapan terima kasih penulis!” Raka percaya diri.
“Terserah!” Arman masuk ke kamarnya.
Raka hisap rokoknya lagi, ia lanjutkan menulis. Malam ini ia merasakan kata-kata mengalir deras di kepalanya. Ia temukan kembali gairah menulis itu. Dan semua ini karena satu nama yang menjadi bintang inspirasinya, Khalila.
*
Ada rasa sendu di minggu pagi yang hangat. Khalila masih duduk di sisi tempat tidurnya. Kekecewaan hinggap ketika tak ada balasan pesan dari Raka. Ia taruh ponselnya di tempat tidur. Ia bangkit dan regangkan tubuhnya. Uforia kesusksesan pertunjukan semalam sudah tak ia rasakan. Hanya letih yang tersisa karena jam tidur yang kurang. Khalila berjalan ke jendela dan membukanya. Sempurna kehangatan pagi menerpa wajah naturalnya. Ia hirup udara sejuk sisa subuh guna menenangkan pikirannya.
Sebagian pikirannya adalah tentang Revan yang kini ia rasa mulai tak spesial. Tidak ada kebahagiaan besar seperti biasanya ketika bertemu dengannya. Semua ini karena Raka yang mengisi sebagian lagi pikirannya. Kehadiran Raka kembali di hidupnya meruntuhkan segala upaya melupakannya. Ini kacau. Khalila menyadari bahwa perasaannya benar-benar mendua.
Ah, pikirannya tak menentu lagi. Sia-sia ia regangkan tubuh dan pikirannya barusan. Raka benar-benar membuatnya nyaris gila!
Suara ponsel terderdengar dan membuat Khalila menuju kembali ke tempat tidurnya. Ia terkejut mendapat nama Raka di layar ponsel. Dengan cepat ia mengambil ponselnya dan mengangkatnya.
“Halo?” jawabnya.
“Khal?”
“Raka!”
“Maaf semalam aku pulang duluan!”
Khalila menghela napas, “Kenapa pulang?”
“Aku nggak tahu kenapa aku pulang.”
“Kok bisa gitu?”