Rakhalila

Galih Aditya Mulyadi
Chapter #16

Rakhalila

Hampir satu jam Raka mendengarkan pembimbing akademiknya menjelaskan hal yang sudah ia tahu benar resikonya. Tanpa sekalipun membantah atau berdebat, Raka dengan putus asa mendengar setiap konsekuensi dari ketidak teraturan yang ia lakukan dalam kuliah. Kesempatannya tinggal 1 semester dan jika ia tidak mencapai IP standar, ia dengan terpaksa akan di drop out dari kampus.

“Ini pertaruhanmu Raka. Cobalah kamu lebih serius!” tegas Bu Mardina, pembimbing akademiknya.

Raka hanya mengangguk di penghujung pertemuan itu. Surat peringatan drop out ia ambil di meja, Raka tampak ragu untuk mengutarakan apa yang ingin ia katakana perihal niatnya untuk mundur dari kampus.

“Apa kamu ingin sampaikan sesuatu?” Bu Mardina memahami kegelisahan Raka.

Raka menatap pembimbing akademiknya itu, ia mencoba mengumpulkan kata untuk menyampaikan apa maksudnya, “Saya..” kata pertama Raka keluar.

“Kamu kenapa?”

“Saya ingin mengundurkan diri dari kampus,” ujar Raka yang langsung membuat Bu Mardina mengerutkan dahi.

“Jangan bercanda Raka! Kamu masih bisa selamat dari drop out!” Bu Mardina menjalankan fungsinya untuk menghadapi mahasiswa putus asa seperti Raka.

“Saya rasa semuanya udah cukup, Bu! Saya nggak bisa mengejar ketertinggalan kuliah!”

“Kamu hanya nggak mau mencoba! Kamu udah terlanjur berjalan sejauh ini, Raka!”

Raka terdiam, ia sadar, keputusannya tidak akan diterima siapapun di kampus ini. Percuma saja ia menjelaskan semuanya karena memang keputusannya adalah kesalahan bagi hampir semua orang yang ia temui.

“Pikirkan lagi dan jangan gegabah!” lanjut Bu Mardina.

Raka mengangguk dan pamit kepada Bu Mardina. Ia beranjak meinggalkan ruangan pembimbing akademiknya itu.

“Raka!” Bu Mardina memanggilnya lagi.

Raka menoleh.

“Saya hanya menjalankan tugas saya. Jalan hidup setiap orang berbeda, menyelesaikan kuliah memang bukan jaminan kamu bisa sukses. Tapi hakekatnya, segala yang telah dimulai harus diselesaikan. Itulah yang membuatmu terlihat menjadi manusia yang bertanggung jawab!” tukas Bu Mardina.

Raka hanya tersenyum tipis dan Bu Mardina menyadari senyum itu adalah senyum paling palsu di dunia. Kegelisahan di raut wajah Raka tampak jelas mendominasi suasana. Raka pamit sekali lagi dan berjalan ke pintu keluar.

Di depan pintu, ia melihat banyak teman seangkatan dan adik tingkatnya. Beberapa menyapanya dengan biasa karena Raka memang tak pernah terlalu dekat dengan siapapun di prodinya selain Gita. Ya , Gita. Mungkin inilah alasan mereka berkumpul di sini. Ruangan Bu Mardina dekat degan ruang seminar yang tampak ramai hari ini.

Raka berjalan ke papan pengumuman dimana ia melihat nama-nama yang seminar hari ini. Ada Iwan dan Reza, teman satu angkatannya, Ilham, seniornya dan yang terakhir adalah Gita.

“Lo ke kampus cuma buat Gita?” seseorang menyapanya, itu Nadia, teman seangkatannya.

Raka hanya menggelengan kepalanya, “Gue balik, ya!”

“Lho, Ka! Si Gita masih di dalam!” Nadia belum mengetahui tentang putusnya hubungan mereka.

“Semuanya nggak ada hubungannya sama gue, Nad!” tegas Raka sambil mulai berjalan. Nadia terdiam, ia sadar bahwa mungkin Raka dan Gita telah berakhir.

Langkah Raka terhenti karena terhalang kerumunan adik tingkatnya ya memadati pintu ruang seminar, seseorang keluar dari ruangan itu dan Raka bisa menebak tanpa melihatnya. Kasak-kusuk yang terdengar berisi kekaguman dan rasa bangga menyeruak mengisi ruang dengarnya. Orang yang baru selesai ujian skripsi itu ialah Gita.

Beberapa temannya langsung memasangi Gita mahkota dan selempang yang menandakan bahwa Gita adalah orang pertama di angkatan mereka yang lulus. Buket bunga pun Gita terima dari beberapa teman-temannya. Gita menjadi pusat perhatian banyak orang, kontradiktif dengan Raka dalam hal apapun di kampus ini. Gita adalah bintang yang bersinar terang, sementara Raka adalah pecahan kecil meteor yang tak pernah dipedulikan semesta. Keberadaannya memang tidak penting, ia langsung beranjak dari kerumunan yang menjebaknya.

Raka sempat melewati Gita, mereka bahkan sempat bertatap meski hanya sebentar. Tatapan Gita menyendu saat Raka tertangkap daya lihatnya. Sementara Raka membuang pandang saat tatapan mereka bertemu. Tidak ada sapa apalagi perbincangan. Semuanya telah usai bagi mereka, hanya ada ucapan dari dalam hati dari masing-masing;

“Kamu semangat. Jangan pernah sekalipun patah dan menyerah. Suatu hari, aku akan lihat kamu berhasil!” ujar Gita sambil menatap punggung Raka yang semakin menjauh.

“Selamat Gita.” Hanya itu ucapan Raka dari dalam hatinya.

*

Dan kini ia dekat, tapi terlanjur dimiliki seseorang.Mungkin kini aku yang berganti menjadi orang yang berada di garis sisi. Melihatnya dengan kekaguman. Mencuri tatapnya walau sebentar. Tidak ada yang perlu aku katakan kepadanya. Cerita ini menjelaskan setiap detail tentang perasaan yang aku curhakan tentangnya. Ia telah lama kukenang dan semua ini adalah tentang berterus terang.

Khalila tercengang membaca bagian terakhir naskah yang Raka kirim. Raka begitu runut menceritakan setiap kisah mereka. Sejak ia SMA, lulus dan berpacaran dengan Gita, lalu setiap pertemuan singkat dengannya. Raka merangkum semua itu dalam cerita yang dua jam belakangan ini ia baca. Ia abaikan tugas resume kuliah yang harusnya ia kerjakan di perpustakaan ini.

“Belum juga, Khal?” Indah menegur Khalila yang sama sekali belum mengerjakan tugasnya.

Khalila meletakkan naskah Raka di mejanya, ia menatap nanar ke depan. Melihat tumpukan buku yang sedari tadi belum ia sentuh.

“Galau baca tulisan Raka?” tanya Indah.

“Aku bingung,” ucap Khalila.

“Ya jelas, lah, kalian itu jatuh cinta disaat yang salah!”

Khalila menoleh kepada Indah, “Darimana kamu tahu?”

“Ya, aku baca sebentar naskah itu. Nggak perlu sampai selesai juga aku udah tahu apa isinya!”

“Emang apa?”

Indah memutar bola matanya, “Seniman itu, baik itu pelukis, pemahat, musisi dan penulis, pasti pernah curhat dalam karyanya. Itu yang Raka lakukan terhadap karyanya sekarang.”

“Sebatas curhat?” tanya Khalila.

“Ya aku nggak tahu. Menurutmu? Naskah itu, kan, terinspirasi dari kamu?” Indah bertanya balik.

Khalila menyandarkan tubuhnya, ia semakin bingung dibuatnya.

“Raka nyuruh kamu baca untuk apa?” tanya Indah lagi sambil membuka laptopnya.

“Aku diminta dia untuk melanjutkan tulisannya,” ujar Khalila singkat.

Lihat selengkapnya