Raka keluar dari kantor pos. Naskah Rakhalila-nya sudah ia kirim dan kini ia butuh kurang lebih tiga bulan untuk menunggu jawaban dari naskahnya tersebut. Selama menunggu itu, ia sadar sudah saatnya ia memikirkan kuliahnya. Belum ada keputusan pasti yang ia ambil tentang kuliahnya. Ia pun mulai mengirimkan lamaran pekerjaan ke koran-koran lokal untuk menjadi penulis lepas. Ia harus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya dan mencari tempat kos agar tidak terlalu lama menumpang di Rumah Buku. Meski Arman tak keberatan Raka tinggal di sana, tetap saja Raka tak enak hati bila terus-terusan harus menumpang di sepanjang ketidak jelasan nasibnya. Ia harus mengambil segala resiko yang terjadi dalam hidupnya. Ia yang memilih, ia pula yang harus menjalani. Ia tahu pasti akan sulit, tapi ia sudah bertekad bahwa ia bisa melalui semua ini. Ia akan terus produktif. Ia ingin membuktikan kepada semua orang bahwa ia bisa hidup dari menulis.
*
Delapan Bulan Berlalu
Suara shower masih terdengar dari kamar mandi di sudut kamar. Seperti biasanya, Raka tak mematikan laptopnya dan meninggalkannya begitu saja. Tampak ia menunda suatu artikel untuk Lampung Post. Rentetan pesan masuk di ponselnya yang tergeletak di meja, dekat dengan laptop dan asbak penuh puntung rokok. Raka harus menghadiri suatu acara siang itu.
Raka keluar dari kamar mandi masih dengan berbalut handuk. Ia menuju meja kerjanya dan mengambil ponselnya. Ia tersenyum membaca pesan itu. Segera ia balas dan kemudian bergegas untuk bersiap. Raka kini telah hidup sendiri di sebuah kos kelas menengah di pusat kota Bandar Lampung. Ia bekerja sebagai penulis lepas untuk beberapa koran dan portal berita online. Ia pun mulai belajar tentang skenario secara autodidak dan mulai terlibat dalam pembuatan film dokumenter yang diproduksi secara kolektif. Ia sangat menikmati hidupnya.
*
“Ya, kita sampai juga!” ujar Vero setelah ia memarkir mobilnya di pelataran toko buku.
“Bang Vero, udah telepon Bang Raka?” tanya Sebastian. Vero datang bersama keluarga Raka hari itu. Ada Papa dan Mama Raka juga.
“Udah, kita disuruh ke lantai dua aja. Acaranya di situ.”
Hari ini adalah hari dimana mimpi seorang Raka Wijaya terwujud. Tiga bulan lalu, Raka mendapat kabar bahwa Rakhalila di ACC untuk terbit. Raka senang bukan main. Ia mengabari semua orang dekatnya. Vero sampai kaget sekaligus bangga Raka menjadi seorang penulis. Mamanya terharu dan bangga, begitupula papanya meski tetap saja dengan kedatarannya. Sebastian melonjak kegirangan. Semua orang di Rumah Buku mengucapkan selamat dan ikut bangga dengan hasil dari perjuangan Raka selama bertahun-tahun. Dan Khalila, ia yang menjadi inspirasi di novel pertamanya ini tentunya sangat bangga sekaligus bahagia menjadi bagian dari awal lahirnya seorang penulis baru dalam industri literasi. Ia berjanji akan datang ketika Raka launching novelnya tersebut.
Suasana di lantai dua lumayan ramai, akan tetapi tak terlalu padat. Maklum saja, Raka penulis baru yang belum mempunyai basis pembaca yang besar. Meski begitu, hal tersebut tak terlalu dipikirkan Raka dan pihak penerbit. Di ruang tunggu, Raka masih berdiri menunggu MC memanggil namanya. Ia ditemani Saher, promotor dari penerbit.
“Jangan nervous!” ujar Saher.
“Nggak, biasa aja, sih!” sahut Raka, ia berbohong, ia cukup tegang saat ini.
“Gimana rasanya novel pertama terbit?” tanya Saher.
Raka berpikir sejenak, “Hmm, kayak ledakan kembang api! Semua perasaan campur aduk. Dari dulu, kan, gue ngirim ke penrbit lo tapi ditolak melulu!”
“Ya mungkin dulu belum waktunya. Semua penulis pasti akan ketemu sama waktunya. Waktu dimana orang-orang akan mengenal mereka lewat karyanya.”
“Ya, gue percaya itu, sih!”
“Semua penulis yang gue tangani juga hampir sama kayak lo. Mereka awalnya susah mau nerbitin naskahnya. Tapi karena mereka yakin dan terus usaha, akhirnya terbit juga. Udah pada terkenal, tuh!” cerita Saher.
“Semoga gue bisa terus produktif, ya!” ujar Raka.
“Produktif dan konsisten!” tambah Saher.