Metro, Lampung 2005
Dibawah payung langit jingga, dua orang pria berusia belasan tahun, siswa SMA, tampak masih asik bermain basket di lapangan basket sekolah mereka, SMA Negeri 2 Metro. Noda coklat tampak menempel di beberapa bagian celana seragam sekolahnya, keringat bercucuran deras di sekujur tubuh mereka, merembas di t-shirt yang mereka gunakan. Mereka sudah lelah, tetapi enggan menyudahi pertandingan one on one mereka. Ego remaja, belum ada yang mau mengaku kalah.
Raka memimpin dua poin di atas Vero, Raka mempertahankan keunggulannya, sementara Vero masih berusaha melewati perolehan poin Raka, lemparan demi lemparan three point coba Vero lakukan meskipun hasilnya selalu gagal. Mengejar perolehan poin Raka bagi Vero sesulit ia mendapatkan pacar di sekolah ini.
Tak jauh dari keseruan Raka dan Vero, seseorang sedari tadi menonton pertandingan mereka. Ia masih tampak muda, lebih muda dari Raka dan Vero. Ia seorang gadis SMP, pengagum rahasia salah satu dari Raka dan Vero. Ia rela berlama-lama menonton pertandingan one on one Raka versus Vero, hampir setiap sore ketika mereka berlatih, baik bersama tim basket sekolah sampai di luar jadwal latihan tim basket sekolah atau saat mereka berlatih hanya berdua seperti sore ini. Khalila namanya, kecantikannya mulai merona di balik wajah lugu dan tampilannya yang sederhana. Menonton Raka dan Vero latihan basket adalah kegiatan rutinnya selepas ia berlatih menari di sanggarnya. Di taman kecil di bawah pohon trembesi besar tak jauh dari lapangan basket.
Dentuman bola basket menghantam semen membentuk bunyi pantulan khas yang semakin lama semakin hilang gemanya, bola basket menggelinding beberapa meter meninggalkan lapangan. Raka terlentang memandang hamparan langit jingga, napasnya terengah-engah tak karuan. Namun, ada sirat kebahagiaan dari raut wajahnya, untuk kesekian kalinya ia memenangkan pertandingan one on one dengan Vero.
Vero duduk di samping Raka, meregangkan kakinya sembari meneguk air mineralnya, pandangannya tertuju pada Khalila yang tampak sedang bersiap untuk meninggalkan tempatnya menonton pertandingan Vero versus Raka. Ia menuntun sepeda merah mudanya, Vero tersenyum pada Khalila, Khalila malu-malu membalas senyum Vero dan berlalu dengan menaiki sepedanya.
"Manis banget itu bocah!" Vero masih mengamati Khalila yang semakin lama semakin menjauh.
"Siapa, Ver?" Tanya Raka dengan napas yang belum teratur.
"Khalila," jawab Vero singkat
Raka bangun dan mengambil botol air mineral dari tangan Vero kemudian meneguknya, "Yang sering nontonin kita? Anak yang sering pake rok SMP itu? Yang dekil itu?"
Vero melirik sinis pada Raka, "Dia emang masih SMP, Raka! Dia itu bukan dekil, tapi eksotis!"
"Ah, whatever, Ver! Yang jelas selera lo itu buruk!"
"Bukan selera gue yang buruk, tapi persepsi lo tentang kecantikan itu terlalu high! Lo mau nyari cewek cantik yang kayak Puteri Indonesia di sini mana ada?"
Raka tertawa kecil dan bangkit dari duduknya, mengambil baju seragamnya yang ia gantungkan di salah satu cabang tiang ring basket. Selera wanita Raka memang tergolong tinggi. Wajar jika pria yang bisa dibilang tampan tersebut terkesan memilih-milih wanita untuk dijadikan pacarnya, tidak seperti Vero yang berwajah cenderung pas-pasan dengan matanya yang selalu sayu seperti orang mengantuk, untunglah rambut ikalnya ia sisir spike agar tak terlihat mengembang tidak karuan. Mungkin jika rambut Vero dibiarkan mengembang, setiap balita akan menangis jika melihatnya.
"By the way, gimana si Gita? Di sekolah ini, nih, cuma dia yang kecantikannya nyerempet Puteri Indonesia!" Ujar Vero lagi.
"Ah, gue nggak pede, cewek blasteran itu cantik banget, mana mau sama gue?"
"Lo itu payah, Ka! Lo nggak bisa baca gerak-gerik dia kalau ketemu lo?"
Raka hanya tersenyum simpul, ia tidak terlalu tertarik memikirkan asmara, Gita yang dibicarakannya dengan Vero barusan memang sangat cantik, tapi Raka belum berani berpikir lebih tentang hubungannya dengan Gita. Apalagi Gita adalah idola kebanyakan murid pria di sekolahnya.
"Balik, yuk?" ajak Raka
Vero tampak cemberut, hal yang paling ia tidak suka ialah saat Raka tidak merespon atau tidak menanggapi lagi sebuah topik pembicaraan yang sudah ia mulai. Untuk mengobati kekesalannya terhadap Raka, Vero melirik pada dua motor Suzuki Satria F mereka yang terparkir di dekat tiang bendera. Kini ia melirik Raka lagi sembari menggerakkan alisnya naik turun, Raka tersenyum, ia paham maksud lirikan Vero.
"Gue tunggu di garis start!" Raka berlalu menuju motornya.
*
Azan maghrib telah selesai berkumandang sejak lima belas menit lalu saat Raka sampai di rumahnya, ia menuntun motornya memasuki garasi, memarkirnya di samping mobil ayahnya. Sejenak tatapannya tertuju pada sebuah stiker yang cukup besar di salah satu bagian pintu mobil papanya, sebuah stiker lambang intansi pemerintahan, gambar sebuah tunas berwarna hijau di dalam sebuah lingkaran berwarna merah yang tercetak di atas lingkaran utama bersudut lima dengan warna dasar kuning emas, di bawah lambang itu tertulis Departemen Pertanian.
Papa Raka seorang Pegawai Negeri di Departemen Pertanian Lampung, kepala bagian produksi, Raka menghela napasnya, ia mengetahui ini sudah sejak ia kelas 1 SMA sampai kini ia sudah kelas 3 SMA. Raka tahu itu, masa depannya sudah direncanakan dengan matang oleh papanya, ia bagian dari obsesi papanya. Perlahan Raka beranjak meninggalkan garasi, menuju pintu di ujung garasi yang berhubungan langsung dengan ruang belakang rumahnya, berjalan beberapa langkah ia sampai di ruang tengah rumahnya, didapati papa, mama dan adiknya yang sedang berkumpul, tampak ceria dalam canda, mereka tampak baru selesai sholat berjamaah. Bagian dari sebuah tradisi di keluarga Raka, sholat berjamaah saat waktu sholat maghrib tiba. Hal itu merupakan peraturan papanya setiap maghrib, seluruh anggota keluarga harus berkumpul dirumah untuk melaksanakan sholat bersama dan Raka yang paling sering absen di antara anggota keluarga yang lain.
Papanya menatap Raka yang baru datang, sinis seperti biasanya sejak anak sulungnya itu dinilai tidak pernah disiplin.
"Raka, sudah sholat kamu, Nak?" mamanya yang menyapa, papanya masih diam.
"Belum, Ma," jawab Raka
"Sholat saja ditinggal! Gimana kewajiban yang lain?" papanya langsung menimpali beberapa detik setelah Raka menyelesaikan perkataannya.
Raka tidak menjawab, ia segera berlalu menuju kamarnya.
"Kamu mandi, terus sholat! Masih ada waktu, nanti langsung nyusul ke meja makan!" perintah mamanya, tegas tanpa nada sinis dari suaranya.
Tak ada jawaban dari Raka yang sudah menghilang menapaki anak tangga menuju kamarnya.
"Lihat anak itu!" ujar papa dengan nada suara yang masih kesal.
"Anakmu, anak kita. Bukan anak itu!" timpal mama Raka, lembut dan santun, sembari menyiapkan makan malam di meja makan yang tak jauh dari ruang tengah.
"Ya, anak kita! Anak yang setiap hari kerjanya keluyuran! Pulang kucel seperti itu! Bolos bimbel dan malah lebih sering main basket!" papa menjabarkan hal-hal yang membuatnya selalu geram pada Raka.
"Nanti mama nasehati dia."
"Nasehat saja sudah tidak mempan untuk Raka!”
"Dan bentakan juga kekerasan tidak akan pernah berhasil menjadikan seorang anak untuk menurut!" mama Raka menukas perdebatan dengan suaminya, perdebatan yang beberapa waktu belakangan ini menjadi rutin.
“Yang ada di pikiran dia itu cuma basket dan novel! Cita-cita, kok nggak umum! Di negeri ini, jadi atlet atau jadi penulis jarang bisa sukses!" papa Raka masih mendumel.
Mama Raka tidak menanggapi lagi. Ia selalu percaya terhadap Raka. Ia bisa menentukan mana yang baik bagi hidupnya.
"Sebastian! jangan seperti abangmu!" kini papa menegur anaknya yang lain, yang sedari tadi mendengarkan perdebatan orang tuanya tentang kakaknya.
"Tapi Bang Raka hebat, Pa, kemarin dia dapat hadiah uang lima ratus ribu karena cerpennya di muat di tabloid. Sebentar, Ibas ambilkan!" Sebastian beranjak dari sofanya, anak kelas 5 SD itu menuju tumpukan koran dan tabloid di rak kecil dekat televisi.
"Papa, lihat, dong!" Sebastian berlari kecil menuju papanya, memperlihatkan sebuah cerpen karya Raka yang dimuat di salah satu tabloid remaja ternama.
Papa meraih tabloid tersebut, membaca sebuah cerpen berjudul, "Elegi" dengan nama anak sulungnya, Raka Wijaya terpampang sebagai penulis dalam rubik cerpen tersebut.
"Raka emang bakat dan passionnya ke sastra, Pa! Basket itu sekadar hobi aja" ujar mama Raka mulai bersuara lagi. Papa Raka menghela napas, cerpen karya Raka tidak dibacanya, ia tutup kembali tabloid itu. Papanya sama sekali tidak terkesan.
"Bang Raka hebat,ya, Pa?" Ada sebuah binar kebanggaan dari Sebastian, bocah itu bangga pada kakaknya.
"Ini hanya bisa dijadikan hobi, Nak! Menulis itu memang bagus, tapi zaman sekarang, kita tidak bisa hidup dari pekerjaan itu! Cukup jadikan itu sampingan," papanya menasehati Sebastin.
"Tapi, bukannya papa dulu sebelum jadi pegawai negeri juga sempat menjadi penulis lepas untuk beli susu Raka?" tanya mama menimpali argumentasi papa.
"Konteksnya berbeda, Ma! Papa jadi Wartawan, menulis berita dan artikel yang bersifat informatif, bukan cerpen!"
"Bakat papa menurun ke Raka walau konteksnya berbeda, kalian sama-sama berbakat di bidang kepenulisan, kan?"
"Mama ini memang selalu membela Raka! Mama manja terus dia! Papa sudah menentukan, Raka akan jadi Pegawai Negeri seperti Papa. Dia akan masuk Fakultas Pertanian Universitas Negeri sehabis lulus SMA ini!"