Rakhalila

Galih Aditya Mulyadi
Chapter #2

Sebuah Tatapan

Siang dengan cuaca garang di pekan terakhir bulan juni tahun 2005. Dalam sebuah hiperbola, jika kau menceplok sebuah telur di atas jalanan aspal Kota Metro, maka telur itu akan matang dalam beberapa menit.

Raka memacu motor kesayangannya cukup cepat, ia baru saja selesai mengurus pendaftaran kuliahnya di Universitas Lampung, cukup jauh jarak antara rumahnya dan calon kampusnya itu, sekitar empat puluh lima kilometer jarak antara Kota Metro, tempat Raka tinggal dan Bandar Lampung yang juga merupakan ibukota provinsi Lampung, tempat Universitas Lampung berada. Raka tidak berpikir untuk langsung pulang hari itu, terlebih dahulu ia akan mampir ke rumah Vero, sekalian lewat, pikirnya. Lagi pula ini adalah hari terakhir Vero berada di Lampung sebelum esok sahabatnya itu berangkat ke Bandung untuk mengurus kuliahnya, menyusul abangnya yang lebih dahulu kuliah di Universitas Padjajaran. Dengan catatan itu pun kalau Vero lulus ujian masuk Universitas Padjajaran.

Setelah menempuh perjalanan selama 45 menit, Raka sampai di rumah Vero, rumah berlantai dua itu sedang direnovasi. Bambu dan beberapa kaso masih terlihat malang melintang, lantainya pun masih tampak akan di ganti keramik baru, rumah Vero adalah rumah tua, rumah bekas veteran kabarnya, pekarangan dan halaman belakangnya cukup luas, rumah yang cukup nyaman. Trademark rumah ini adalah pohon akasia rindang yang tumbuh kokoh di halaman depan rumahnya, menyejukkan di kala panas terik seperti ini, bagai sebuah oase di padang tandus.

Tampak beberapa tukang bangunan sedang bekerja saat Raka sampai di pelataran rumah Vero, terlihat Ayah Vero yang masih memakai seragam polisinya, tampaknya Ayah Vero akan berangkat dinas kembali. Ia sedang berbincang dengan seorang pria paruh baya yang merupakan mandor pengerjaan renovasi rumah Vero tersebut.

"Siang, Om?" Raka menghampiri Ayah Vero dan pria yang berbincang dengannya, menyalami mereka berdua.

"Hei, Raka! Kemana saja kamu, jarang kelihatan?" tanya Ayah Vero dengan logat Palembangnya, Vero sekeluarga berasal dari Sumatera Selatan.

"Sibuk daftar kuliah, Om!"

"Kamu daftar di Universitas Lampung?"

"Iya, Fakultas Pertanian, Om!,"

"Wah, bagus itu, semoga lulus,ya! Bagaimana papa dan mamamu, sehat?"

"Alhamdulillah sehat, Om, terima kasih doanya, Om!"

"Hoy, ngapain lu ngobrol sama bapak-bapak?" Vero memanggil dari balkon atas rumahnya.

Raka hanya menyapa Vero dengan mendangakkan dagunya

"Ya sudah, sana temui Vero, lewat pintu samping, ya, Ka, teras dan ruang depan masih di renovasi!" Pesan ayah Vero

"Iya, Om, mari Om, Pak?" Raka pamit pada Ayah Vero dan pria paruh baya yang bersamanya.

"Mari, Nak!" sahut pria paruh baya yang bersama Ayah Vero dengan ramah, sementara Ayah Vero hanya merespon dengan senyum.

*

Khalila Anjani Putri, itu nama gadis yang baru lulus SMP tersebut, yang sedang mengayuh sepeda merah mudanya di tengah terik panas siang itu. Ia baru saja pulang dari sanggar tarinya yang berjarak sekitar 1 kilometer dari rumahnya. Rumah Khalila terletak di perkampungan dekat sekolah Raka dan Vero, SMA Negeri 2 Metro, sekolah dimana ia juga mendaftarkan dirinya untuk melanjutkan sekolah.

Sejak kelulusan Raka dan Vero, Khalila sudah jarang terlihat di sekitar lapangan basket ketika sore hari, ia pengagum salah satu dari Raka dan Vero, dan kini ia tidak dapat melihat lagi keduanya di lapangan basket, tak ada alasan lagi baginya untuk tetap datang ke lapangan basket. Ia telah memiliki kehilangan sebelum semuanya dimulai, jangankan untuk mengucapkan perpisahan, ia bahkan belum mengenal pujaan hatinya tersebut. Mulai seterusnya ia sadar, akan ada sesuatu yang tidak lengkap lagi dari hari-harinya.

Khalila menurunkan sebelah kakinya dari pedal goesnya. Rem sepedanya sedikit blong, suara sendal yang terseret tanah membuat ibunya yang sedang mengangkat jemuran pakaian sejenak menoleh ke arah anak gadis sulungnya tersebut, ibunya berdecak sembari menggeleng-gelengkan kepalanya melihat anaknya yang baru datang.

"Mbok, ya dibetulin toh nduk remnya, bahaya itu!" nasehat Ibu Khalila dengan logat jawanya yang kental.

"Hehehe, iya, Bu, nanti aku betulkan," Khalila meringis

"Sini bantu ibu ngangkat jemuran ini," pinta ibunya

Khalila pun menghampiri ibunya membantunya mengangkat beberapa helai pakaian yang dijemur

"Tadi ibu di sms bapak, rancangan desain rumah pak Jumali ketinggalan, habis makan kamu tolong antarkan desain bapak ke rumah pak Jumali,ya, bisa, kan?,"

"Pak Jumali? Oh, rumahnya kak Vero?" Khalila memastikan

"Iya, dasar kamu ini, tahunya sama mas Vero saja, ayahnya kamu ndak kenal," sindir ibunya.

"Ya, kan, aku lebih sering ketemu kak Vero, Bu, dari pada ayahnya, hehe,"

"Dasar kamu itu, ya sudah sana, cepat bawa pakaiannya masuk, makan siang, lalu antar desain bapakmu ke rumah Mas Vero!"

"Iya, Bu," Khalila masuk ke rumahnya.

Ayah Khalila adalah Pak Raharjo, seorang mandor bangunan, pria yang ditemui Raka berbincang dengan ayah Vero. Pak Raharjo adalah orang yang merancang sekaligus penyedia tenaga tukang bangunan untuk renovasi rumah Vero.

Pria itu, Raharjo namanya, ia cukup ahli dalam matematika dan fisika, ia bukan orang sembarangan, desain bangunan yang dirancangnya selalu melalui perhitungan yang matang. Rumus fisika dan matematika ia gunakan dalam rancangannya, Ayah Khalila tersebut bak arsitek meskipun pada kenyataannya ia tak lebih dari sekedar tukang bangunan.

Pak Raharjo adalah sebuah simbol ketekunan dan kerja keras, banyak rumah sampai sekolah di kota Metro yang memakai desainnya, tetapi sayangnya, karena bukan bergelar sarjana Teknik Arsitektur, bayaran Raharjo tidak setara dengan orang-orang bergelar tersebut, padahal untuk sebuah kualitas, amat sangat bisa di adu dan bersaing.

Pak Raharjo dan keluarganya hidup sederhana, jauh dari sebuah kemewahan yang sepantasnya ia dapat. Tinggal di sebuah rumah sederhana di perkampungan dekat SMA Negeri 2 Metro bersama istri dan kedua anak perempuannya, Khalila dan Tara. Mereka bahagia dalam sebuah kesederhanaan, karena memang pada dasarnya, bahagia adalah sebuah kesederhanaan, hanya terkadang manusia berpikir secara kompleks yang memperumit mereka dalam memahami arti sebuah kebahagiaan tersebut. Untungnya, Pak Raharjo mampu menerjemahkan nilai itu pada keluarganya.

*

Panas terik tak menyurutkan semangat Khalila mengayuh sepedanya untuk mengantar desain bapaknya, jarak sekitar 2 kilometer antara rumahnya dan rumah Vero dilaluinya. Khalila bukan gadis yang manja, ia jarang memakai lotion kulit untuk melindungi kulitnya dari sengatan matahari, bisa dikatakan, Khalila masih awam dengan hal-hal yang berbau dunia kecantikan dan kosmetik, ia sangat natural dan apa adanya, hanya bedak tipis saja yang terkadang menghiasi wajah ayu khas wanita jawanya (kecuali ketika ia dalam pementasan tari), kulitnya pun tampak kecokelatan, eksotik menurut Vero namun dekil menurut Raka, itulah sebabnya Raka tidak pernah sekalipun melirik Khalila. Untuk hal wanita, Vero lebih pakar dalam menemukan "mutiara yang terpendam" dari pada Raka.

*

"Gimana tadi? Udah kelar pendaftarannya?" Tanya Vero, ia dan Raka bersantai di balkon atas ruangan kekuasaan Vero di rumah semenjak kakaknya kuliah di Bandung. Ruangan full entertaiment, ada Playstation, TV 21 inchDVD dan beberapa keping VCD dewasa koleksi Vero yang disembunyikannya di bawah karpet, ruangan ini juga favorit Raka setiap datang ke rumah Vero.

"Tinggal ujian masuknya minggu depan, lo sendiri?"

"Sama. Ujian masuknya, kan, serempak. Gue nggak bisa bayangin bagaimana lo tanpa gue, Ka!"

Raka mendelik pada Vero, sejenak ia meminum orange juice yang disediakan Vero.

Lihat selengkapnya