Rakhalila

Galih Aditya Mulyadi
Chapter #7

Sang Penulis

Kota Metro, Lampung 2009

Raka membuka pintu rumahnya, seorang bapak paruh baya dengan jaket parasut abu-abu bergambar lambang pos kecil di sisi kiri bagian dadanya tampak tersenyum ramah kepadanya, Pak Idrus, tukang pos yang selalu mengantar pos di komplek rumah Raka.

"Ini ada paket lagi, buat Mas Raka, dari penerbit Media Utama!" Pak Idrus menyerahkan sebuah paket yang dibungkus amplop coklat besar.

Sirat kekecewaan terpancar dari wajah Raka, ia tahu apa isi di dalam amplop ini.

"Makasih,ya, Pak?" ujar Raka sembari menandatangani resi yang di bawa pak Idrus.

"Ngomong-ngomong, Mas Raka sering dapat paket dari penerbit Jakarta, memang Mas Raka penulis?" tanya pak Idrus.

Raka tersenyum, " Lagi coba-coba, Pak, ngirim naskah ke penerbit!"

"Wah, berarti Mas Raka calon penulis, dong? Wah, bapak bangga sering dapat tanda tangan Mas Raka!" Pak Idrus tampak sumringah.

Raka hanya meringis, Pak Idrus tidak tahu, bahwa paket yang sering ia kirim kepadanya adalah naskahnya. Naskah yang ditolak. Penerbit selalu mengembalikan naskah yang tidak diterima kepada penulisnya disertai sebuah surat alasan mengapa naskah itu tidak layak untuk di terbitkan dan ditutup dengan kalimat klise untuk penyemangat yang mereka pikir mujarap,

"Teruslah menulis, kamu berbakat, hanya saja mungkin kamu belum beruntung!"

"Bullshit!," lihatlah, sudah berapa banyak robekan kertas itu di tempat sampah di kamar Raka.

Setelah berpamitan, pak Idrus pergi untuk bertugas kembali, mengirim barang demi barang yang tidak pernah ia tahu isinya ke alamat-alamat yang tertera di bungkus paket tersebut, kadang Raka berpikir, bagaimana bila salah satu isi paket itu adalah bom? Sudah pasti pak Idrus tinggal nama, ya, hanya nama, tidak pernah ada apresiasi untuk jasa pengantar pos sepertinya. Pada hal, yang ia bawa adalah amanat, kepercayaan dan tanggung jawab, sebuah makna hidup dari pekerjaan yang ia lakukan.

Suara motor Pak Idrus sudah menjauh, Raka merobek kasar bungkus paketnya, itu memang naskahnya yang dikirim empat bulan lalu ke penerbit. Hasilnya sama seperti lima naskahnya sebelumnya, DITOLAK. Hal antiklimaks terjadi pada Raka, saat dahulu cerpennya sering dimuat di tabloid nasional, kini sudah jarang tabloid yang menerima cerpennya, banyak bermunculan talenta-talenta baru dengan cerita yang manis dan mudah dimengerti, berbeda dengan tulisan Raka yang cukup berat dan terkesan terlalu sastra.

Untuk novel, ia mulai menulis novel saat memasuki semester tiga kuliahnya, sampai kini ia semester delapan, belum ada satupun naskah kirimannya yang terbit. Belum lagi segala kegagalannya dalam kuliah. Ada beberapa mata kuliah yang harus mengulang karena tidak di adakan semester pendek . Papanya kembali gusar lagi padanya, kebanggaannya karena Raka dahulu di terima di Fakultas Pertanian Universitas Lampung sirna tak berbekas. Kini target baru dari Papanya ialah, Raka harus cepat menyelesaikan kuliahnya dan itu tidak bisa di tawar lagi. Raka kini telah memasuki titik nadir di hidupnya.

***

Dosen mata kuliah Satuan Operasional sudah memasuki ruang kelas, membuka kuliah pertama hari itu. Gita masih tampak gelisah, Raka belum datang juga, Raka mengulang untuk mata kuliah ini. Setelah lulus dari SMA, Gita menyusul Raka kuliah di jurusan Tekhnologi Hasil Pertanian Universitas Lampung, bukan karena paksaan, tetapi karena memang kemauannya sendiri. Selain faktor Raka, ia pun memiliki cita-cita untuk bekerja di Labolatorium Pengembangan Tekhnologi Pertanian bersama Ayahnya di Hamburg, Jerman. Ayah Gita adalah Profesor Florend Lutwijk, merunut kebelakang tentang kisah antara kedua orang tua Gita, ayah dan ibunya di pertemukan di Institut Pertanian Bogor, ayah Gita yang menjadi dosen untuk mahasiswa S1 dimana salah satu mahasiswanya adalah, Miranti, yang kelak menjadi ibu Gita. Program kerja sama antara IPB dan Universitas Gottingen, Jerman, masa itu terpaksa membuat ayah Gita harus lama di Indonesia, selama satu tahun. Cinta mulai tumbuh antara Florend dan Miranti, mereka memutuskan menikah setelah Florend menyelesaikan tugasnya di IPB, itupun melalui proses dan pertimbangan yang sangat alot awalnya, perbedaan agama menjadi masalah utamanya. Tetapi terkadang cinta memang selalu bisa mengalahkan segalanya, Florend memutuskan untuk mengikuti keyakinan Miranti satu minggu sebelum menikah dengan Miranti.

Florend membawa Miranti ke Jerman setelah menikah. Tapi, setelah beberapa bulan di Jerman, Florend yang memang tergolong dosen muda ditugaskan kembali di Indonesia, kini di Lampung, di Universitas Lampung. Masa tugas di Lampung lebih lama, sekitar enam tahun, karena memang ia ditugaskan untuk ikut andil membangun Fakultas Pertanian di Universitas tersebut. Florend pun memutuskan untuk membeli rumah di Lampung, hingga lahirlah Gita. Enam tahun masa tugas Florend, masa depan Florend tidak jelas. Statusnya di Universitas Gottingen masih sebagai "dosen pinjaman", hingga akhirnya ia memutuskan keluar setelah pihak Gottingen memberi lagi tugas pada Florend untuk bertugas di Kalimantan, tetapi Florend menolak. Ia lebih memilih di Lampung karena telah jatuh cinta pada provinsi tersebut, kemelut terjadi antara Florend dan pihak Universitas Gottingen setelah itu, Florend mundur dari Gottingen dan menjadi dosen tetap di Universitas Lampung. Florend yang pekerja keras, ia terus mengembangkan bidang ke ilmuanya, melakukan penelitian-penelitiian tentang teknologi-teknologi yang membantu sektor pertanian bahkan peternakan. Melakukan inovasi pada mesin pengolahan padi dan mesin pengolahan susu hingga menjadikan dua sektor vital di Lampung tersebut lebih produktif.

Florend akhirnya menulis buku tentang Satuan Operasional Produksi Pertanian. Buku tersebut menjadi acuan dan berperan besar dalam pembangunan pertanian dan pangan di Lampung. Tahun 2003, Florend mengambil gelar profesornya di tanah kelahirannya, Berlin, Jerman.Universitas Humboldt Berlin menjadi tempatnya menyelesaikan S3 nya. Kini, Florend telah menjadi Kepala Labolatrium Pengembangan Tekhnologi Pertanian di Hamburg. Namun setiap bulan untuk beberapa hari ia pulang ke Indonesia menemui Miranti dan Gita, jarak ke dua negara antara Jerman dan Indonesia tidak pernah menjadi alasan seorang ayah untuk tidak menemui dua wanita yang di cintainya di Indonesia tersebut.

Lihat selengkapnya