Sesekali Bianca mengintip ke arah jendela. Hujan masih menyapa lembut tatapannya, tak kunjung menandakan reda. Tatapannya berpindah, berputar mengelilingi kamar, memperhatikan setiap sudut yang tidak dihiasi oleh benda-benda lucu dan imut layaknya kamar perempuan.
Ia melangkah menuju tempat tidurnya.
Kamar ini justru terlihat membosankan. Tempat tidur cukup besar yang ditiduri hanya oleh satu orang. Padahal, ada banyak bantal, pikirnya. Ia meremas bantal guling dengan gemas. Pengin kayak dulu lagi, kayak waktu SD di Jogja dulu, tidur sama Kevin. Ramai. Enggak pernah merasa kesepian. Iya. Kevin. Teman masa kecilnya sekaligus sepupunya yang paling baik. Bianca menganggap Kevin sebagai kakaknya, maklum Bianca tak pernah merasakan kasih sayang seorang kakak, tapi Kevin memberi rasa itu secara cuma-cuma.
Ah, mengingat Kevin membuat Bianca merindukan masa-masa kecilnya di Jogjakarta. Dulu, ia tak pernah mengenal air mata, beda dengan sekarang. Kemurungan dan air mata seperti silih berganti di hidupnya, berlomba-lomba mengisi hari-harinya.
Bantal empuk yang digenggamnya telah diempaskan ke kaki. Ia berguling-guling di tempat tidur yang cukup besar. Dua minggu ini, tak ada yang mengisi sisi kosong di tempat tidur itu. Biasanya, sisi kosong tempat tidur diisi oleh Letisha, sahabat Bianca. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk pillow talk. Mereka merebahkan kepalanya di bantal, lalu membicarakan banyak hal dan bercerita tentang mimpi mereka yang menembus langit-langit kamar. Dengan tatapan yang saling menguatkan dan penuh harapan, mereka bergumam, bercanda, mengumpat, dari teriknya siang sampai senja membentang di langit Jakarta.
Ditatapnya foto berbingkai yang ada di dekat meja belajarnya. Wajah Letisha dan Bianca saat makan kembang gula. Senyum yang terpancar mengungkapkan dengan jelas bahwa persahabatan mereka seperti pelangi, penuh warna-warni.
Mereka bukan lesbian! Mereka hanya dua anak manusia yang memiliki kesamaan nasib. Sama-sama memiliki keluarga yang tak beres. Bukankah manusia selalu nyaman pada hal yang memiliki banyak kesamaan dengan dirinya? Malam terasa begitu panjang jika dilewati bersama Letisha. Hatinya terasa lega ketika ia bercerita tentang kondisi keluarganya yang tidak lagi harmonis. Dadanya tak terasa sesak sama sekali saat ia menumpahkan air matanya di bahu Letisha. Mereka seperti belahan jiwa yang saling berpeluk secara nyata juga dalam doa. Persahabatan adalah media untuk menjaga mereka tetap waras. Persahabatan adalah yang menyadarkan mereka, bahwa mereka tidak pernah sendirian.
Jari-jemari Bianca berantusias meraih handphone, lalu ia menekan-nekan tombol dengan nomor yang sudah ia hafal di luar kepala. Nomor handphone Letisha.
“Halo,” sambut suara malas di ujung telepon.
“Sha ...,” ucap Bianca, sambil menarik selimut, menghangatkan tubuhnya, “gue ganggu malem-malem, ya?”
“Eh, Bian! Apa kabar lo? Masih hidup? Hahaha! Kita udah enggak ketemu dua mingguan, ya? Elo kangen banget sama gue, ya, sampe telepon malem-malem gini?” suara penuh semangat kini mengalir dari bibir Letisha, disertai tawa renyah dan suara khasnya.
“Kabar gue? Agak baik, Sha. Gue masih idup, cuma perasaan gua aja yang mati. Hehehe. Elo apa kabar?” dengan perasaan lesu, Bianca menjawab candaan Letisha. “Kangen sama lo? Hah? Gede rasa lo!”
“Hm, iya juga, Bi. Elo kenapa lagi? Gila, ya, elo, dibecandain aja jawabnya pake galau banget!”
“Bokap dan nyokap gue ...,” ucapan itu lesu, mengalir dari desah Bianca. “Seperti yang selalu elo tahulah.”
“Mereka berantem lagi? Apa lagi yang dibanting?”
“Dibanting? Sekarang bukan banting lagi, muka nyokap gue sampe lebam!”
“Kenapa, ya, kok ada laki-laki yang diciptakan kayak bokap lo?”
“Penyeimbang, Sha. Di dunia ini enggak ada yang 100 persen bahagia dan 100 persen menderita. Alam aja butuh penyeimbang, apalagi manusia, iya kan?”
“Iya juga sih, yang kuat, ya, dear.”
“Kalau gue enggak kuat, dari dulu gue udah lari dari rumah kali, Sha.”
“Terus, kenapa enggak elo lakuin aja?”
“Gue masih punya nyokap, sumber kebahagiaan gue. Percuma kalau gue lari sendirian tanpa membawa lari kebahagiaan gue.”
“Elo bener-bener temen gue, deh!” seloroh Letisha, ia mencoba menaikkan mood Bianca. “Gimana ujian masuk universitas yang di Jogja itu? Kapan pengumumannya? Kangen, nih, gue sama elo.”
“Pengumumannya besok, Sha. Universitas swasta pengumumannya lebih awal dan cepat. Sorry, deh, kalau udah bikin elo kangen sama gue.”
“Besok ada waktu ketemuan enggak? Di rumah elo, gitu?”
“Mau main?”
“Enggak, mau numpang kentut di ruang tamu elo.”
“Hah?”
“Ya, mau main, dong, Sayang.”
“Oh. Boleh kok,” jawab Bianca enteng.
Letisha tertawa, lalu tiba-tiba bergeming. “Tapi, ada bokap elo enggak?”
Mendengar kata “bokap”, Bianca langsung bergidik. “Seperti biasanya, setelah pertengkaran hebat, dia enggak pulang ke rumah untuk beberapa hari.”
“Iya juga, ya,” tanggap Letisha singkat. “Besok mau gue bawain apa?”
“Emh, bawa apa, ya?” Bianca berpikir sejenak, pikirannya melesat pada banyak hal yang ia inginkan. “Jus mangga aja, yang biasa kita beli.”
Di ujung telepon, Letisha mengangguk. “Yang dekat sekolah, kan?”
“Iya, thanks, ya, Sha. Sori udah ganggu jam istirahat lo.”
“Elo enggak pernah ganggu gue, kok, Bian,” Letisha mengutarakan perasaannya dengan lembut. “Gue selalu mendengarkan lo.”
“Duh, jadi terharu. Oke, deh. Bye!”
TUT! TUT! TUT!
Sambungan telepon terputus. Bianca menghela napas, betapa ia sangat merindukan Letisha, sahabatnya. Baginya, Letisha adalah sahabat terbaik, rumah ternyaman bagi jiwa rapuhnya. Suara Letisha kini hilang, sementara Bianca tak merasakan kantuk sama sekali. Dengan tujuan menghilangkan kekhawatirannya, ia bangun dari tempat tidur, lalu berjalan menuju rak buku. Jemarinya segera mengarah pada buku yang ia baca kemarin, Biola Tak Berdawai. Ia tersenyum pada buku itu. Seperti punya teman. Seperti diajak bicara.
“Hanya itulah yang ingin kulakukan di dunia ini, menunjukkan cinta kepada mamaku, yang telah menyerahkan sisa hidupnya untuk mencintaiku.”
Bianca tersenyum manis. Malam berlalu bersama buku.
“Legalisasi ijazah kapan, ya, Bian?”
Bianca yang sejak tadi sibuk dengan laptopnya, mulai memindahkan pandangannya pada wajah Letisha. “Empat hari lagi.”
“Oh, empat hari lagi, ya. Jadi enggak sabar, nih!” tutur Letisha dengan mata berbinar.
“Enggak sabar? Enggak sabar apanya?”
“Soalnya, gue mau ngenalin elo sama....”
“Yes! Gue keterima di Universitas Wiyata Yudhistira! Lo liat, Sha! Lo liat! Nomor peserta 207-483-21 diterima di Universitas Wiyata Yudhistira! Itu nomor peserta gue!” teriak Bianca histeris.
Teriakan dengan nada tinggi dan lantang itu sungguh memekakkan telinga. Tawanya membahana ke seluruh ruangan di rumah. Seakan-akan seluruh penghuni Galaksi Bimasakti harus mengetahui kalau Bianca lulus dan diterima di Universitas Wiyata Yudhistira. Tata surya, bintang-bintang di jagat raya, serta meteor yang sibuk bersentuhan dengan mesosfer harus tahu dan peduli!
Letisha masih melongo, tak percaya pada “gempa” yang telah dihasilkan oleh pita suara Bianca. Hampir saja jantungnya melompat keluar dari rongga dada. Hampir saja lambungnya bergeser ke dekat tenggorokan. Letisha melangkah mendekati Bianca. Bianca mencoba membunuhnya lewat teriakan histeris tadi. “Coba mana gue liat? Wah ..., iya, yah, ada nama lo.”
“Kok reaksinya datar, sih, Sha?” desah Bianca begitu pelan, suara bersemangatnya berubah.
“Emangnya kenapa harus Jogjakarta yang jadi kota pilihan lo?”
“Banyak kebahagiaan gue yang tertinggal di sana, Sha. Mungkin aja, kalau gue balik ke sana gue bakal menemukan kebahagiaan-kebahagiaan kecil. Kayak dulu. Lo lihat hidup gue yang kayak gini. Apa gue bahagia?”
“Gue tahu gimana perasaan lo, Bian. Tapi ....” Matanya mulai berkaca-kaca. Ia menahan agar pipinya tak basah. “Apa gue harus seneng kalau tahu sebentar lagi kita akan berjauhan?”
Pertanyaan Letisha seperti panah yang menusuk Bianca. Letisha memandangnya dengan tatapan begitu kehilangan.
“Jarak cuma akan jadi jarak, kok, Sha. Teknologi, kan, udah canggih. Ada telepon. Ada Skype. Ada Facebook. Ada Twitter. Jejaring sosial membuat kita merasa dekat.”
“Jejaring sosial cuma membuat kita merasa dekat ... merasa dekat, Bi, bukan bener-bener dekat.”
Bianca semakin tak bisa menahan kecamuk dalam dirinya. Bianca meletakkan lengannya pada bahu Letisha. Tubuh mereka yang saling berdekatan membentuk huruf ‘o’ kecil. Lengan mereka yang saling berdekatan menciptakan satu pelukan.
Mereka menangis sejadi-jadinya.
“Gue enggak tahu harus ngapain kalo tanpa lo, Sha ...,” desah lirih Bianca berdesir pelan di telinga Letisha.
“Apalagi gue, Bi. Gue yang kelewat manja!”
Pelukan mereka semakin erat. Lalu, Bianca melepas peluk itu. Ia menarik dua lembar tisu untuk menghapus air matanya, juga air mata Letisha. “So, listen to me, Letisha Ananda. Kita enggak pisah. Inget, kita enggak pisah! Semuanya cuma sesaat, kalau ada waktu walaupun mepet, pasti gue main ke sini, dan pastinya kita juga harus ketemu.”
“Iya, Bi.” Tanggap Letisha pelan.
Bianca memegang lembut pipi Letisha, “Kok, enggak senyum? Masih lesu?”
“Gue cuma enggak bisa ngebayangin aja, apa jadinya hari-hari gue tanpa lo?”
“Semua akan berjalan normal walau tanpa gue. Kita udah dewasa, Sha. Proses! Proses! Inget! Kuliah itu bukan cerita buku bergambar lucu yang terlalu banyak khayalan dan angannya, bangku kuliah bukan bangku SMA. Pada akhirnya, elo juga akan ngerti kenapa masa-masa kuliah terkesan agak kejam, tapi kekejaman itulah yang akan mendewasakan elo, mendewasakan kita, Sha.” Ungkap Bianca panjang lebar. Dalam hati, ia mengutuk ke-maha-sok-tahu-an yang ia rancang untuk menghibur Letisha.
“Iya, Bi! Gue kuat, kok! Tenang ..., nih! Gue enggak nangis lagi, kan!”
Bianca tersenyum menatap sahabatnya.
“Tadi, elo kayak mau ngomong sesuatu gitu, ya? Atau gue yang salah denger?”
“Oh, iya! Gue mau minta pendapat dari lo tentang seseorang.”
“Siapa?” tanya Bianca dengan dua alis yang hampir bertemu. “Cewek atau cowok?”
“Cowok, Bian. Sesuatu yang jarang kita bicarakan.”
Bianca menghela napas. Menatap Letisha dengan tatapan tajam. “Kenapa? Tumben bicarain hal kayak gitu.”
“Kita udah dewasa, Bian. Biologis,” jawab Letisha singkat. “Emang kenapa?”
“Biologis enggak cukup jadi jawaban. Ada apa?”
Letisha menimbang-nimbang sesuatu. Ia berpikir keras untuk menjawab pertanyaan Bianca.
“Kok, lama banget mikirnya?”
“Emangnya elo enggak pernah jatuh cinta, Bian?”
“Jatuh cinta?” tanggap Bianca dengan nada tak percaya.
“Iya, jatuh cinta,” ulang Letisha. “Pernah jatuh cinta?”
“Bian,” jemari Letisha menggoyang-goyangkan bahunya, “kok, bengong?”
“Bukan bengong, cuma lagi mikir. Gue agak canggung bicara soal jatuh cinta. Enggak terlalu ngerti juga.”
“Kenapa canggung?”
Ditatap dengan tatapan serius seperti itu, Bianca membuang muka. Ia enggan jika Letisha mengetahui rasa bingung di hatinya. “Enggak apa-apa.”
“Enggak apa-apa?” sambung Letisha. Ia tak puas dengan jawaban Bianca. “Berarti ada apa-apa.”
Bianca menghela napas. Ia memainkan tombol scroll up scroll down di mouse laptopnya. “Udah deh, Sha. Gue enggak mau ....”
“Enggak mau apa? Bicarain soal jatuh cinta? Elo enggak percaya sama pria? Elo enggak harus takut sama cowok cuma gara-gara elo lihat bokap lo. Enggak semua cowok kayak bokap lo.”
“Sha, tolong, deh. Gue bukannya ...,” Bianca terbata-bata. “Jatuh cinta itu sakit, Sha. Namanya juga jatuh, pasti berdarah, pasti ada yang luka.”
“Jatuh yang ini beda, Bian. Elo bukan anak TK yang kalau jatuh pasti nangis dan enggak mau berdiri sendiri. Jatuh yang ini malah bikin elo semangat buat bangkit. Jatuh cinta itu asyik. Ia jadi sebab elo berubah, dan akan ada saatnya elo tahu, bahwa perubahan enggak selamanya buruk.”
“Jadi ... jatuh cinta asyik? Tahu dari mana? Lagi ngerasain?”
“Iya ... sepertinya. Elo pernah juga, kan, ngerasain yang kayak gue rasain?”
Bianca terdiam. Sedikit terlalu lama. Letisha menunggu.
“Gue pernah jatuh cinta.”