Raksasa dari Jogja

Bentang Pustaka
Chapter #3

Jogjakarta

Orang bilang daerah ini tak boleh disebut kota karena namanya “daerah istimewa” bukan “kota”! Kenapa harus daerah istimewa? Karena memang (kata orang) istimewa, sejarah menyatakan bahwa daerah ini ada salah satu sebab kemerdekaan Indonesia. Indonesia tanpa daerah ini sama saja bukan Indonesia. Jadi, bisa disimpulkan bahwa daerah ini penting bagi Indonesia.

Begitu juga bagi Bianca.

Bus eksekutif yang mengantarkan ia dari Jakarta menghentikan laju bannya di Terminal Giwangan, Jogjakarta. Berbondong-bondong penumpang berebut keluar melalui pintu keluar bus.

Bianca yang duduk di bangku nomor 31 tak mau ikut-ikutan norak, apalagi ikut-ikutan menerobos keramaian di dalam bus. Menunggu keramaian mereda adalah keputusan terbaik yang bisa ia terima. Ketika keramaian mulai mereda, Bianca bersiap-siap menuruni bus, dengan sigap ia membawa kopernya yang diletakkan di bagasi.

Selamat datang di Daerah Istimewa Jogjakarta, Bianca! “Daerah istimewa” bukan “kota”!

Bianca mengambil handphone-nya yang berada di dalam tas, membuka phonebook dan mencari nama Bude Sumiyati, jempolnya bergerak ke tombol “yes”, telepon tersambung. Nada sambung telah terdengar.

“Halo, selamat siang,” ucap suara lembut di ujung ponsel. Suara lembut khas wanita Jawa, menyejukkan. “Sudah sampai, ya, Bian?”

“Iya, Bude. Bian sudah di Terminal Giwangan. Bude jadi jemput?”

“Oh ... syukurlah kalau sudah sampai. Bude sudah di jalan menuju Terminal Giwangan. Kamu tunggu, ya? Kamu bawa berapa barang? Banyak?”

“Aku bawa satu koper besar dan satu koper kecil, tidak terlalu banyak, kok, Bude.”

“Kamu pakai baju warna apa?”

“Warna putih, Bude.”

“Oh ... begini saja, kamu sekarang masih berada di dekat bus, kan? Coba kamu lihat di dekat tempat penjualan tiket, di sana ada ruang tunggu. Kamu menunggu di sana dulu, ya! Kasihan kalau kamu harus menunggu dan berdiri terlalu lama, selain pegal kamu juga bisa kena polusi, Nak.”

“Sendhiko1, Bude. Aku tunggu di sana, ya, hati-hati di jalan.”

“Iya, Nak. Hati-hati juga, ya. Jangan mau menerima makan atau minuman dari orang asing.”

“Hehehe... iya, Bude. Aduh, Bian, kan udah gede juga, enggak mungkin, kan harus tergiur sama permen-permen yang enggak jelas gitu. Tapi, makasih, lho, nasehatnya, Bude. Hehehe.”

“Take care, Bian! Tunggu Bude di sana, ya. Dadaaah!”

Bianca mengarahkan pandangannya ke seluruh terminal, mencari-cari ruang tunggu yang ciri-cirinya sama seperti yang dikatakan Bude Sumiyati. Setelah ia temui ruang tunggu itu, ia mantap melangkahkan kakinya ke sana, sambil menyeret koper yang ia bawa.

Matahari yang terik cukup menusuk kulitnya diam-diam. Memancarkan radiasi panasnya melalui ruang hampa udara di angkasa, menembus kulit Bianca sesuka hatinya. Bagaskara telah melakukan tugas terbaik­nya, sementara angin yang menggelitik merayu turut serta menerbangkan “wangi” asap kendaraan bus, cukup meng­ganggu indra penciuman Bianca.

Sosoknya masih terus melangkah, setelah sampai di tempat itu, ia segera menduduki satu bangku yang dalam persepsinya cukup nyaman untuk dijadikan tempat menunggu. Sambil membunuh waktu, ia masih memperhatikan sudut-sudut Terminal Giwangan yang cukup gerah dan cukup ramai. Berbondong-bondong bus menuruni penumpang seenaknya, parkir sesukanya, seakan-akan ukuran-ukuran bus itu hanya sebesar sepeda motor. Benar-benar ciri-ciri terminal yang Indonesia banget. Padat, gerah, polusi, dan pedagang kaki lima.

Di sini semua orang dari status dan strata sosial mengejar kepentingannya masing-masing. Ada yang menjajakan dagangannya, ada yang menunggu dijemput kekasih dan keluarganya, dan ada yang menunggu penump­ang tergesa-gesa yang siap dibodohi oleh calo. Setiap orang punya kepentingannya masing-masing, setiap orang punya tujuannya sendiri. Semua emosi tercampur aduk di sini. Ada suara tangis anak bayi yang pecah karena kegerahan, ada suara pedagang kaki lima yang menjajakan dagangannya, dan ada suara kondektur bus yang menyebut-nyebut tujuan trayek busnya. Keramaian yang tidak terlalu ia rindukan. Bukan kegaduhan ini yang ia rindukan dari Jogjakarta.

“Wah, lama, ya?”

Bianca menoleh ke belakang. “Eh, Bude. Bian kirain siapa.” Ia segera mencium tangan wanita dengan paras menawan itu.

“Pasti kamu lelah, ya? Yuk, langsung naik ke mobil. Biar Mas Beno saja yang urus kopermu,” ajak Bude Sumiyati, menggenggam tangannya, membawa langkahnya berjalan menuju mobil.

Genggaman tangan Bude Sumiyati begitu hangat, sehangat genggaman tangan Mama. Sekelebat bayangan menusuk-nusuk otaknya. Wajah Mama. Juga luka lebam di pipinya.

“Wah, rumah Bude gede banget! Tiga tahun yang lalu, pagarnya enggak setinggi ini, kan, Bude?”

“Ah ... kamu berlebihan, deh! Yuk, turun! Kevin enggak sabar banget, loh, ketemu kamu.”

Bianca menuruni mobil dengan rasa lelah dan napasnya menghela lega. Kakinya masih agak gemetar, karena belasan jam ia hanya duduk di bus, tanpa menggerakkan badannya dengan bebas. Setelah turun dari mobil, ia bergerak-gerak kecil untuk mengembalikan kebugaran badannya. Tangannya direntangkan, lalu meninju udara. Ia menarik napas berkali-kali untuk mengatur sistem res­pirasi di tubuhnya. Langkah mereka baru saja mendekati pintu saat tiba-tiba seorang pria tampan dari arah berlawanan berlari tergesa-gesa mendekati mereka.

“BIAAAAAAAAAAAAAAANNNNN!”

Melihat kehebohan itu, Bude Sumiyati hanya meringis kecil, beliau meninggalkan Kevin dan Bianca di depan pintu rumah. Dia melihat ke arah meja makan. Pembantunya sudah menyiapkan makan siang. Makan siang untuk menyambut tamu dari Jakarta.

Kevin menubruk tubuh Bianca yang masih kelelahan, peluknya menderas membuat tubuh Bianca semakin panas. Tangan Kevin lembut membelai rambut Bianca.

Aroma tubuh pria berwajah manis itu tercium jelas oleh Bianca. Dagunya bersandar di bahu Kevin. “Kamu enggak berubah, Vin. Selalu saja mengagetkan!”

“Aku kangen sama kamu!” canda Kevin masih dengan peluknya yang semakin erat.

“Aku sesak, Vin ... panas.”

“Aku terlalu erat meluk kamu, ya? Hahaha! Maaf! Maaf!” Kevin melepas peluknya, jemarinya menggenggam jemari Bianca. “Masuk, yuk!”

Sudah beberapa tahun yang lalu ia tidak menapaki sudut-sudut rumah ini. Ia memperhatikan ruang tamu yang bersofa putih. Jam gadang dengan tinggi hampir setinggi dia. Meja kayu jati yang terpahat dengan indah. Lukisan-lukisan batik yang setia menempel di dinding. Sejuknya rumah ini mendinginkan perasaan Bianca yang masih agak kaget dengan pelukan Kevin yang bertubi-tubi tadi.

Jemari Kevin masih mengikat jemarinya, seakan-akan ada perekat dalam setiap inci jemari mereka, “Kamu pasti laper, tadi pembantuku udah menyiapkan makan siang. Makan, yuk!”

“Bian ... langsung makan aja, Nak. Baru habis itu kita antar kamu ke kamar. Kamu pasti laper banget,” ajak Bude Sumiyati. Suara lembutnya semakin membuat Bianca merasa nyaman. Ia jatuh cinta pada sambutan hangat mereka.

Makanan disantap dengan lahap oleh Bianca. Di antara kunyahan mereka, terkadang ada percakapan kecil yang tercipta. Bianca merasa mulai menyatu dengan Kevin dan Bude Sumiyati. Sambutan hangat yang tersulut dari sikap mereka. Awal yang menyenangkan di Jogjakarta. Rasa lelahnya berjam-jam duduk di bus terbayar oleh perlakuan menyenangkan sepupu dan budenya. Inikah awal baik untuk dirinya? Inikah sinyal bagus bagi kehidupan barunya?

TOK! TOK! TOK!

Bianca segera bangun dari tempat tidurnya, dengan langkah malas ia membuka pintu. Wajah Kevin sudah berada di depan tatapannya.

“Ya?”

“Keluar, yuk!”

“Ke mana? Malem-malem gini?”

“Angkringan.”

“Bude emang ngizinin?”

“Iya, dong! Udah sana cepet ganti baju!”

Lihat selengkapnya