Bianca menarik napas lega. Selesai. Tak ada lagi rumus-rumus fisika dan matematika. Tatapannya mengarah pada koleksi buku-buku fiksi yang tertata rapi di dekat meja belajar. Matanya menjamah setiap buku yang terletak di sana. Detail judul diperhatikannya dengan saksama. Tinggi rak buku itu melebihi tinggi Bianca, hampir dua meter. Ia berjinjit, jemarinya bersemangat meraih buku bersampul hitam, Biola Tak Berdawai, Seno Gumira Ajidarma.
Sewaktu kelas 1 SMA, buku ini adalah belahan jiwanya, selalu menempel di jemarinya ke mana pun ia pergi. Lembarannya telah lusuh, pinggiran kertasnya melekuk-lekuk. Halaman pertama dibuka, tertulis nama Bianca Dominique, bersanding dengan tanda tangan sang penulis. Ia tersenyum lebar saat meraba tanda tangan penulis kecintaannya. Masih pada halaman pertama, di bagian bawah kertas, juga tertulis nama seseorang, tak asing. Joshua Prasetia Hutomo. Tertulis sangat kecil.
Senyumnya perlahan-lahan memudar. Tatapannya tak lagi bersemangat. Ia berjalan meninggalkan rak buku menuju tempat tidur, bantal yang empuk dan selimut yang hangat. Waktu buatnya. Sempurna.
Jarum jam bernyanyi dengan ketukan perlahan. Tik tok tik tok. Pukul sembilan malam. Desah suara air conditioner mengalun lambat, terdengar jelas. Selimut ditarik hingga menutupi hampir seluruh tubuhnya. Tak lupa, iPod sengaja diletakkan di samping bantal kepalanya. Ia sering kali mendengarkan musik sebelum tidur. Lembar awal buku dibuka, Bianca secara acak membolak-balikkan halamannya. Ada beberapa paragraf yang penuh dengan stabilo kuning, beberapa kalimat digaris dengan tegas.
Bianca mengarahkan matanya pada kalimat, “Betapa terkelabui mereka oleh keindahan ragawi, yang tidak memberikan jaminan apakah akan berarti juga keindahan rohani.” Kata-kata itu seperti melayang-layang dalam pikirannya. Ia memandang langit-langit beberapa saat, lalu kembali membaca kalimat-kalimat seterusnya. “Dia seorang ibu yang membela anak-anaknya, maka ia tidak akan memerlukan keberanian sedikit pun untuk menuntut bela—sudah semestinyalah seorang ibu berjuang demi anak-anaknya, betapapun ia tak pernah diuntungkan karenanya.”
Barisan paragraf itu terasa begitu indah, Seno Gumira memang pandai merangkai abjad menjadi susunan paragraf yang menyenangkan untuk dibaca. Suasana masih sunyi dan sepi, suara per tempat tidur seakan beradu dengan suara balikan lembar buku, Bianca menggerakkan tubuhnya sesekali.
Ah … tiba-tiba bayangan mamanya bergantian mengisi otak Bianca. Wanita yang dulu punya senyum memesona itu kini kehilangan seringainya sendiri. Ada rasa sakit yang pelan-pelan tergores di dadanya, semakin dalam, semakin panjang, semakin perih. Tak mampu untuk dijelaskan, kecemasan yang sama dan selalu berulang.
Buku ini terlalu sering bercerita tentang cinta, cinta, dan cinta. Sudah puluhan kali dibaca, tapi tak memunculkan banyak makna bagi Bianca. Ia punya ratusan buku yang bercerita tentang cinta, tapi sekali lagi ia hanya mengerti jalan cerita dan penokohannya, bukan makna cinta yang terkandung di dalamnya. Ia masih menganggap cinta hanyalah akal-akalan penulis untuk menjual bukunya saja. Baginya, cinta hanyalah jalan pintas untuk menyelesaikan masalah di dalam sebuah novel.
Tak apa jika tak ada cinta, tak apa jika tak ada jalan pintas, tapi jika tak melewati jalan pintas maka perjalanan akan terasa amat jauh dan melelahkan. Jadi, cinta itu semacam apa, ya? Ia iseng sendiri dengan kata-kata di dalam otaknya, ia bermain dengan peristiwa-peristiwa yang berloncat-loncat dalam sel impuls otaknya.
Setiap manusia butuh cinta? Butuh jatuh cinta? Lalu, apa salahnya jika tak jatuh cinta? Bukankah jatuh itu sakit? Manusia akan mati? Menjadi perawan atau perjaka tua? Tak berkeluarga? Tak dapat bersenggama? Menjadi ateis? Menyiksa dirinya sendiri? Bunuh diri? Frustrasi? Gila? CUKUP! Pertanyaan tolol!
Ia tak percaya cinta. Sungguh!
Ia memang tak percaya cinta, tapi diam-diam ia mencari-cari jawaban atas pertanyaan itu. Tak banyak yang tahu bahwa ia membeli novel tentang cinta hanya untuk meraba-raba hatinya sendiri, apakah ia tersentuh pada setiap kalimat yang berbicara tentang cinta? Dalam banyak hal, sebenarnya ia berjuang untuk menemukan cinta, untuk mengerti arti cinta, untuk merasakan jatuh cinta. Tapi, beberapa hal menghalangi dirinya untuk tidak segera merasakan hal-hal itu. Baginya, tak ada yang mampu menjelaskan dan memaparkan dengan pasti tanya hatinya.
Adakah seseorang yang mampu mendefinisikan cinta sehingga dengan bodohnya cinta bisa menjadi penyebab dari penyatuan pihak yang berbeda? Bagaimana cinta dengan tololnya menggenapkan sesuatu yang secara mutlak adalah ganjil. Bagaimana cinta dengan idiotnya menjadikan seseorang menjadi liar dan harus melawan arus, melanggar, bahkan mengabaikan norma sekalipun adalah ganjil. Semakin sibuk, semakin menjalar ke mana-mana! Ia terlena oleh jalan pikirannya sendiri.
PRANG!!
Kesunyian di kamar Bianca sontak pecah oleh suara yang memang tak asing baginya.
Ia menghela napas.
Dengan sigap, ia langsung meraih iPod. Gerad Way, vokalis My Chemical Romance bernyanyi dengan volume sangat keras. Dentuman drum dan petikan gitar listrik berlomba-lomba memenuhi telinga Bianca. Buku segera ia raih. Ia sangat hafal bunyi itu.
Lagu itu mengentak dengan keras. Konsentrasinya sudah buyar, ia sebenarnya tak ingin membaca buku lagi. Namun, ia memilih untuk tetap dalam selimut hangatnya dan kembali memperhatikan setiap kalimat yang tercetak di buku itu. “Panah-panah asmara berkelebatan, sebagian menjadi cinta yang membakar, sebagian jadi cinta yang membunuh, sebagian lagi menjadi cinta yang berdarah dan ....”
PRANG!! PRANG!!
Bunyi itu lagi. Lebih kencang. Lebih sering. Lebih mencekam.
BRAAAK!!
Bantingan pintu. Tak seperti biasanya. Diikuti suara tangis dan jeritan yang menyayat hati.
Bianca tak tahan lagi. Selimut diempaskan, iPod dan buku yang sejak tadi ia baca langsung berserakan di tempat tidur. Ia berlari menyusuri ruang tamu. Diliriknya kamar tidur Papa, diperhatikannya kamar tidur Mama, tak ada seorang pun! Lalu, dari mana bunyi itu berasal?
Dalam kebingungan ia mendengar suara tangis Mama pecah. Indra pendengarannya bekerja dengan ekstra, suara itu berasal dari dapur.