Ralin

LF
Chapter #1

Satu

Saat menulis cerita ini, aku sedang duduk di sebuah warung kopi. Ditemani segelas minuman dingin dan empat buah cabai di piring. Seharusnya ada gorengan, tapi aku sudah memakannya habis. Aku tidak sendirian. Aku sedang bersama temanku. Dia duduk di kursi, tepat di depanku, sedang mengetik di layar ponselnya yang mulus.

Biar tidak salah paham, akan kuceritakan temanku itu. Dia sudah lulus kuliah dan tengah bekerja sebagai wartawan di sebuah kota di Madura. Dia laki-laki, dan tidak sepertiku yang masih sendiri, dia sudah memiliki istri. Dia ke sini untuk menghabiskan hari liburnya selama tiga hari. Katanya, dia rindu suasana kota tempatnya kuliah dulu; sebuah kota dengan penorama gunung, persawahan, dan tentu saja, sungai-sungai kecil.

Saat dia mengetik, aku juga sedang mengetik kisah ini. Hanya iseng. Sebab, kalau serius, aku sudah mengetiknya di kamar sambil ditemani Avril Lavigne. Namun, apa yang akan kuceritakan ini bukan iseng. Ini kisah yang kualami sendiri, dan demi kemanfaatan bersama, aku sudah memutuskan menuliskan kisah ini, meski dalam kondisi yang teramat tidak enak. Kenapa tidak enak? Ya, karena kalau warung kopi ini harus tutup, berarti aku harus menghentikan ketikanku ini, dan itu berarti, aku terpaksa harus menghentikan kisah yang aku tulis untuk sementara waktu.

Saat aku menulis kisah ini, aku sedang memikirkan seorang perempuan berwajah manis. Aku tidak tahu siapa perempuan itu. Mungkin dia seorang penyanyi berjilbab, seorang perempuan penyuka puisi, seorang gadis kelas satu SMA yang kerap kuantar ke sekolah atas permintaan bapaknya, atau seorang mahasiswi tingkat pertama pemilik senyum maut. Aku hanya merasa, di dalam pikiranku yang kadang-kadang bisa seluas alam semesta, aku bertemu dengan perempuan asing itu.

Biar agak jelas, Aku akan mendeskripsikan bagaimana sosok perempuan yang kumaksud itu. Dia memiliki tubuh tinggi, tapi masih lebih tinggi tubuhku. Dia memiliki rambut panjang, berwarna gelap, dan dibiarkan jatuh tergerai. Giginya rancak, serupa gigi kelinci. Senyumnya manis, dan kalau tersenyum, ada lesung mungil di pipi kirinya. Dia memiliki semua sifat yang aku bayangkan. Dia lemah lembut. Suaranya seperti kesiur angin. Aku tidak bisa mendeskripsikan bagaimana gambaran nyata suara kesiur angin itu, tapi aku bisa merasakannya. Aku yakin, semua orang juga mengerti apa yang aku maksudkan dengan kata 'kesiur angin'. 

Itulah gambaran perempuan yang kumaksud. Sangat sempurna, setidaknya itu bagiku. 

Aku sering membayangkannya sebagai sosok perempuan nyata yang berkelebat di dalam kepalaku, meski aku tahu, kepalaku, lebih tepatnya pikiranku, tidak sekecil yang pernah aku bayangkan. Kadang aku bertanya, apakah di dunia nyata ada sosok perempuan seperti yang aku bayangkan. Setelah kupikir-pikir, mungkin tidak ada, karena aku sangat sadar, perempuan yang sering aku bayangkan itu hanya ada di dalam tempurung kepalaku. 

Setiap kali aku mendengarkan lagu Avril Lavigne, sosok perempuan pasti berkelebat di dalam pikiran. Aku seperti dihantui sosok perempuan yang aku cipta sendiri. Kalau boleh dianalogikan, aku seperti Pep Guardiola yang merubah Bercelona menjadi tim sepakbola paling menakutkan di dunia. Namun, ketika pindah ke salah satu klub di Jerman, dan klub yang dilatihnya harus berhadapan dengan Barcelona, Pep harus mengakui ketangguhan monster menakutkan ciptaannya sendiri. 

Itulah analogi yang tepat untukku, meski aku tahu, ada sebagian orang yang mungkin tidak sependapat bahwa Barcelona adalah tim hebat di dunia. Tidak apa. Itu pilihan dan berdasarkan isi piagam Human Right, setiap manusia memiliki hak untuk mengeluarkan pendapat. Apa pun pendapat orang-orang, selama itu tidak mengganggu ketertiban umat, itu sah-sah saja dilakukan.

Biarlah, aku tidak terlalu peduli tentang anggapan orang. Sekarang biarkan aku kembali pada sosok perempuan yang aku ceritakan dan merupakan tokoh penting dalam kisah ini. 

Sebagaimana yang sudah kuduga, sosok perempuan itu tidak pernah ada di dunia nyata. Jadi, aku mengimpikan perempuan itu seperti mengimpikan seorang putri yang lahir dan besar di dunia dongeng, tapi mewujud dan nyata di dunia yang sedang aku jalani. Itu mustahil. Dan tidak ada yang lebih gila dari seseorang yang mengangankan hal paling mustahil di dunia. Namun, selama langit belum runtuh dan gunung-gunung masih terpancang tegak di atas bumi, semua angan masih halal, bagaimana pun mustahilnya angan itu.

Jadi, sekarang biarkan aku masuk pada inti kisah yang aku maksud. Ini kisah nyata dan aku sendiri yang mengalaminya.

Semuanya berawal pada saat aku pergi ke Pasuruan. Itu sebuah kota yang bersebelahan dengan Probolinggo, merupakan salah satu kota di Indonesia. Semua orang tahu hal ini dan aku hanya bermaksud menulisnya. Mungkin ada beberapa orang di belahan dunia sana yang tidak tahu tentang Pasuruan. Pasuruan kota yang panas. Saat aku pergi ke sana, itu sedang musim hujan. Kendati musim hujan, ketika matahari terik di atas ubun-ubun, aku merasakan betapa sebenarnya matahari begitu dekat dengan bumi. 

Di Pasuruan aku tinggal di rumah Laila, lebih tepatnya di rumah neneknya Laila. Dia temanku semasa kuliah. Aku ke sana bersama temanku, Meta. Meta seorang laki-laki berjenggot, tapi dia bukan teroris. Meta juga teman kelasku selama kuliah. Kulitnya sedikit gelap. Ini bukan rasis. Ini kenyataan. Aku hanya ingin orang-orang tahu bahwa di dunia ini ada banyak warna kulit berbeda. Namun, atas dasar perbedaan itu, kadang orang-orang suka menghujat satu sama lain. Bukan aku tidak suka mereka mengeluarkan pendapat. Bukan. Aku hanya tidak suka mereka membeda-bedakan orang yang sebenarnya masih senasib seperjuangan. Semua orang pasti setuju. Aku harap begitu.

Selain Meta, aku juga punya teman bernama Dewi. Dia memiliki tubuh mungil dan ramping. Sebagaimana Laila, Dewi juga asli Pasuruan.

Aku ke sana hanya untuk liburan selama empat hari. Dewi yang mengajakku. Dia, Meta dan Laila memiliki proyek, lebih tepatnya tugas membuat film dokumenter dari kampus. Ya, semacam tugas kuliah.

Sebetulnya, itu liburan yang tidak gratis. Namun, demi kenyamanan pikiran, aku mengiyakan saja ajakan Dewi. Dan satu hal lagi yang membuatku agak nyaman di sana, kalau lapar aku tidak perlu repot-repot beli makanan. Karena baik Dewi atau Laila telah menyediakan makanan gratis bagi kami: aku dan Meta.

Di suatu siang, selepas berjalan-jalan, lebih tepatnya berkunjung ke sebuah Klenteng di pusat kota Pasuruan, aku menerima pesan di kotak pesan facebook dari seorang perempuan. Namanya Ellin. Di facebook, aku dan perempuan itu sudah berteman, tapi saat membaca pesan masuk itu, aku masih ragu, apakah di dunia nyata aku pernah bertemu, atau paling tidak, pernah mengenal perempuan itu.

"Kak, apa kabar?" 

Di pesan facebook tertulis seperti itu. 

Lihat selengkapnya