Di salah satu Gedung perkantoran di kawasan Kuningan – Jakarta.
Pagi itu cukup cerah. Davina tampak duduk di balik meja yang cukup besar dan rapi. Sebuah laptop Macbook terpampang di hadapannya. Davina adalah seorang wanita yang cantik, rambutnya panjang dan lurus. Alisnya terbentuk indah alami, bulu matanya lentik, dan matanya sangat indah. Dia adalah pimpinan di perusahaan fashion design yang dibangunnya dari nol hingga menjadi salah satu wanita pengusaha muda terbaik, padahal usia Davina masih muda sekitar 23 tahun.
Wajah Davina tampak serius menatap laptop nya hingga tidak menyadari Misela, yang merupakan sahabatnya sekaligus wakilnya dalam perusahaannya, memasuki ruangannya dan menghampirinya.
“Vin..” sapa Misela. “Tadi barusan perusahaan wardrobe yang jadi sponsor kita menanyakan kepastian tanggal launching event fashion show kita bulan depan...”
“Iya Sel..” jawab Davina masih sambil menatap laptopnya. “Masih sama kok tanggalnya.. On Schedule.. ga ada yang berubah..”
“Terus kenapa raut wajahmu kok mencureng begitu ?”
“Mencureng apa an sih Sel ?”
“Iya itu.. alis kamu jadi kayak celurit gitu..”
“Ini nih.. coba lihat ini..”
Davina menggeser laptop nya agar Misela juga bisa melihat isinya. Di layar laptop itu ada sebuah design baju yang di pakai salah satu selebritis ternama.
“Ini kok kenapa mirip ama design yang akan kita luncurin bulan depan ?” tanya Davina.
“Ini beda pola kok..” jawab Misela.
“Tapi coba lihat lekuk design dan motifnya… Ini swear mirip banget deh..”
“Tapi kenapa bisa sama begitu ya Vin ?”
“Jangan – jangan ada yang membocorkan design kita ke merk sebelah..”
Misela menggeleng, “Impossible itu Vin.. Aku yakin semua yang terlibat dalam design baru kita itu semuanya setia..”
Davina lalu berdiri dan berjalan mendekati jendela ruangannya. Dia lalu memandang ke bawah, dia berada di lantai 30 di Gedung perkantoran itu, jalanan dan mobil yang terlihat lalu lalang dibawah tampak begitu kecil.
“Ada yang ngga beres..” cetus Davina. “Aku yakin ada yang bocorin rahasia design kita..”
“Terus ?” tanya Misela. “Kita harus gimana ? Kamu mau rubah design dan motif nya ?”
“Iya.. Aku rasa kita masih punya waktu..”
“Waktu kita tinggal satu bulan lagi sebelum event fashion show itu.. Kamu yakin kita masih bisa ngejar..?”
Davina mengangguk sambil tetap menatap pemandangan di luar jendela, “Masih… Kita masih punya waktu..”
“Tapi itu kan belum pasti plagiat.. artinya design itu mungkin hanya kebetulan aja mirip ama punya kita..”
Davina lalu mengambil blazer nya dan memakainya sambil menatap Misela.
“Yuk.. kamu ikut aku..” katanya.
“Mau kemana ?” tanya Misela.
Davina tidak menjawab, dia mengambil kunci mobil dan berjalan menuju pintu ruangannya. Misela seketika berjalan mengikutinya. Mereka berjalan menuju lift lalu masuk begitu pintu lift terbuka. Tidak ada seorangpun di dalam lift itu.
“Kita mau kemana Vin ?” tanya Misela.
“Nanti juga kamu akan tahu..” jawab Davina singkat.
Tidak lama kemudian Davina dan Misela sudah sampai di lobby bawah, mereka berbincang sejenak lalu menuruni tangga yang ada di sudut tenggara lobby Gedung itu. Mereka berjalan menuju parkir basement.
“Vin..” kata Misela memecah kesunyian. “Aku lupa nyampein ke kamu.. Tadi ada telepon buat kamu..”
“Dari siapa ?” tanya Davina. “Kenapa tadi ga langsung disambungin ke tempatku ?”
“Kamu lagi ke toilet waktu itu..”
“Terus ? Dari siapa ?”
“Dari Steve… Cieeee… cieeee..”
“Apaan sih ?” cetus Davina.
“Eh, Vin.. Dia itu kelihatan banget naksir kamu.. Ko kamu cuek begitu sih ?”
“Dia bukan tipe ku..”