Rama's Story : Kirana - Bittersweet Symphony

Cancan Ramadhan
Chapter #20

Chapter 19 - Wanita di Tepi Telaga

CHAPTER 19

WANITA DI TEPI TELAGA


Banyu menghentikan motornya di sebuah musholla kecil yang ada di ujung tikungan jalan. Dia menyapa beberapa orang yang tengah berbincang di teras Musholla. Beberapa saat setelah selesai shalat, Banyu menghampiri lagi orang-orang yang tengah berbincang itu.

“Maaf, nyunsewu pak..” sapanya ramah.

“Ada apa le ?” tanya salah seorang diantara bapak-bapak itu.

“Anu maaf saya mau nanya, arah desa Pandansari di mana ya ?”

“Oh kamu tinggal lurus aja dari sini..” jawab bapak itu. “Nanti di sebelah kiri ada gapura dengan nama desa pandansari, kamu udah sampai..”

Setelah mengucapkan terima kasih, Banyu segera menaiki motornya dan melanjutkan perjalanannya. Tidak lama kemudian dia melihat gapura bertuliskan Desa Pandansari, gapura itu terlihat doyong seperti mau roboh karena tidak terawat. Setelah berhenti beberapa saat, Banyu memacu motornya memasuki wilayah desa. 

Jalan desa sejak dari gapura tadi belum di aspal dan hanya cukup di lalui satu mobil, sementara di kanan kirinya masih hutan belantara.

“Ngapain sih ini si Jingga ko tinggal di tempat serem begini..” gerutu Banyu. 

Cuaca mendung menutupi cahaya matahari sehingga rimbunnya pepohonan di situ juga semakin meredupkan cahaya dan merubah suasana menjadi temaram.

“Awas aja kalo ternyata udah pindah dan ga tinggal disini lagi, bakal aku buang nih motor.. terus kawin ama penduduk sini biar ga di cariin Guru besar..” 

Banyu tidak berhenti menggerutu sampai akhirnya dia mulai menjumpai beberapa rumah penduduk dan sudah tidak ada hutan lagi. 

 “Akhirnya ketemu peradaban..” gumamnya.

Setelah melewati beberapa rumah, Banyu berhenti di sebuah warung dimana banyak orang sedang nongkrong di situ, dan menghampiri mereka. Setelah berdiskusi beberapa saat, Banyu kembali memacu motornya ke arah selatan desa tersebut. Rintik hujan mulai turun, langit semakin mendung dan petir terlihat sesekali menyambar disertai suara gemuruh.

“Memang ini bulan November.. sudah musim hujan..” gumam Banyu. “Tapi entah kenapa, cuaca ini memberi kesan yang aneh.. seakan ada sesuatu peristiwa besar yang akan terjadi..”

Setelah hampir sekitar tiga kilometer Banyu memacu motornya, akhirnya dia tiba di sebuah tempat yang cukup terpencil, jalan utama desa sudah sampai di ujungnya, di hadapannya hanya ada jalan setapak yang cuma bisa di lalui motor atau sepeda. Kanan dan kirinya banyak pohon pinus, tanpa berpikir panjang, Banyu memasuki jalan itu dan setelah sekitar dua ratus meter terlihat sebuah telaga kecil di hadapannya. 

Ada sebuah rumah mungil yang ada di tepi telaga itu, Banyu mematikan mesin motornya dan menuntunnya hingga di halaman rumah kecil itu. Dia melihat telaga yang ada di hadapannya, airnya cukup bersih dan rintik hujan seakan menciptakan riak di air yang sangat tenang itu. Banyu akhirnya mengetuk pintu rumah itu.

Tok tok tok !

Pintu itu terbuka, dan wajah seorang wanita cantik berambut sebahu dengan bentuk alis yang indah di atas matanya membuatnya terlihat sangat menawan, dia adalah Jingga.

“Hai Jingga..” sapa Banyu.

“Banyu..” balas Jingga. “Masuklah..”

Jingga membuka lebar pintu dan membiarkan Banyu masuk lalu mereka duduk di ruang tamu yang kecil, kursi dan meja disitu terbuat dari kayu yang sambungannya diikat oleh anyaman bambu.

“Bagaimana kabarmu Jingga ?” tanya Banyu. “Dua hari aku mencarimu.. Kamu cukup sering berpindah lokasi ya..”

“Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik saja..” jawab Jingga. “Aku juga tidak mau berpindah lokasi tapi aku masih takut selama Darma Galih masih belum tertangkap..”

Lihat selengkapnya