“LUDWIG! LUDWIG! LUDWIG!!!”
Sejak senja tadi aku berteriak memanggil buah hatiku satu-satunya itu. Hingga malam ini aku hampir gila mencarinya. Anak lelaki bongsor tujuh tahun itu memang seringkali menyusahkanku, di rumah orang tuaku ataupun di pusat keramaian, apalagi di tempat sepi dan sunyi seperti di sini. Ia tidak bisu, tapi ia selalu tidak pernah memberitahuku jika ingin melangkah meninggalkanku, keluar dari rumah, atau ketika sedang sakit sekalipun. Padahal aku sering menghiburnya dengan membacakan cerita anak-anak yang lucu atau sengaja bertanya seputar sekolahnya. Namun, aku tidak seperti ibu kandungnya meskipun aku setiap saat memeluknya, menciuminya setiap hari ketika akan berangkat sekolah atau tiba dari sekolah, dan yang paling antusias merayakan hari ulang tahunnya pada setiap pertengahan bulan Ramadan. Ludwig, kaumembuatku bertanya-tanya.
“Di daerah selatan juga nggak ada tanda-tandanya!” seru Edison, si editor foto senior di kantor majalah bulanan nasional tempatku bekerja, yang pada edisi kali ini malah turut turun ke lokasi, dengan napas terengah-engah menghampiriku. “Sepertinya anakmu turun ke arah sungai, dan itu cukup berbahaya!”
“Ludwig! Di mana kamu Sayang?” Aku sungguh panik mendengar ucapan Edison. Perasaanku carut marut tidak karuan. Takkuasa aku menangis di hadapan tiga lelaki yang begitu kelelahan menyusuri hutan lebat Kalimantan. Aku belum siap dan, oh, sampai kapan pun tidak akan mau kehilangan darah dagingku itu: satu-satunya malaikat hidupku. Energi kebahagiaanku bertahan terus berkarya.
“Selain gelap, jalanan menuju ke sana juga nggak ada jalan setapak, semua rapat oleh pepohonan yang jarang dilewati orang,” sambung lelaki berkepala plontos di depanku itu semakin membuat hatiku cemas, takut, lepas kontrol, dan ingin menjerit hingga ke langit. Takpeduli ada malaikat yang mendengar tidak.
“Apa yang harus gua lakukan sekarang?” Aku kehabisan kata-kata dengan masalah besar di hadapanku. Bingung harus melakukan apa. Mungkin dengan melengkingkan suara tangisku, pohon-pohon besar dan tua di sekitarku, gelapnya malam, suara seram hutan, atau bahkan Tuhan berbelas kasih kepadaku dengan mengembalikan anakku sekarang juga, tanpa harus kebingungan mencarinya.
“Rey?” Aldam, lelaki bujang lapuk sok idealis yang jarang mandi dengan air, tapi terbiasa dengan keringatnya, mencoba menahan tangisku, “Sebaiknya kita istirahat, isi perut dan tenangkan pikiran sejenak. Kita butuh perasaan tenang untuk mencarinya. Hutan ini sangat luas dan belum berkenalan baik dengan kita.”
“Nggak!” Aku menolak usulannya dengan tegas.
“Tapi, Rey!” Dia berusaha mempertahankan pendapatnya.
“Lu nggak pernah punya anak, mungkin dalam hidup lu juga nggak pernah sekali pun nyentuh kulit halus anak-anak! Dan sekarang ini buktinya, yang ada di dalam pikiran lu cuma mengisi perut saja! Cuma itu?! Egois!!!”