Ramadan Terakhir Ludwig: Ibu Teladan, Ayah Petualang, Anak Istimewa

Mahabb Adib-Abdillah
Chapter #2

Kalau Kita Cinta Fotografi

DUA LELAKI berpakaian seperti pendaki gunung Indonesia—berkemeja flanel, celana PDL, bersyal, sepatu treking, jam tangan anti air atau gelang-gelang etnik, peluit yang tergantung di leher, topi lapangan atau kupluk, atau bandana yang mengikat rambut gondrongnya— terlentang di bawah pohon raksasa yang rimbun dan diterangi gelap. Mereka kelelahan. Bosan dengan rasa letih. Mulut keduanya menganga. Sepasang mata mereka terpejam. Sungguh berat untuk membukanya. Seolah ada orang yang menggemboknya. Sementara, berpikiran untuk langsung ditidurkan itu betapa nikmatnya. Sayang masalahnya, mereka tidak dalam rangka karya wisata. Kedua fresh graduate tersebut di tengah hutan tropis Kalimantan ini tengah bekerja. Tugas. Dinas. Atau apalah istilahnya, yang pada intinya mereka sedang bertanggung jawab kepada orang lain. Jika mereka berani membuat atasan kekecewaan, kekesalan, siap-siap saja dimaki-maki orang yang menggaji, dan rela kehilangan pekerjaan unik, langka, dan bergengsi yang ditahbis jadi passion. Tapi ada pembenaran juga, mereka kelelahan bukan oleh job desk mereka dari kantor.

“Day, jam berapa sekarang?” tanya si lelaki satu yang berpostur tubuh macho, berkulit kuning, dan berkacamata minum yang frame hitamnya tebal. Lalu lelaki satunya lagi yang ditanya, yang memiliki poni menutupi kedua mata sipit tapi tajamnya, sengaja acuh takacuh, bahkan ingin segera kembali ke Bali.

“Setengah dua belas, Maks!” seru kawannya, dan memejamkan mata lagi.

“Gila, stres aku, Day!” keluh lelaki yang bernama Maksi itu, sedikit kaget, lalu membuka matanya tapi langsung digelapkan lagi pandangannya. “Mana dari siang belum makan, huh, pantas wartawan sama fotografer National Geografic atau majalah-majalah traveling itu kaya-kaya, begini tho pekerjaannya!”

“Hm, anak terminal diajak hidup di tengah hutan, ya begini! Hahaha!” seru yang bernama Aday bersikap asyik, menikmati kondisi, juga mengharapkan mitra job training-nya jangan berlanjut mengeluhkan sesuatu yang takdiharapkan. Sebut saja mengutuk para atasan mereka, menyalahkan nasib, atau putus semangat atas liburan yang dibayarnya. Tapi sepertinya Maksi memang menikmati malam ini.

“Sialan kamu, Day! Hahaha! Auwoooooooo!!!”

“Hahaha! Auwoooooooo!!!”

Lihat selengkapnya