Ramadan Terakhir Ludwig: Ibu Teladan, Ayah Petualang, Anak Istimewa

Mahabb Adib-Abdillah
Chapter #3

Laki-laki Paling Bersedih di Dunia

“KIREY!!!”

Aku benar-benar takpeduli teriakan mereka berempat. Aku seperti patung di museum saja. Omonganku selalu dibantah. Dipojokkan. Makan dan minum pun taksedap. Dan diceramahi seperti anak belum akil balig saja. Aku takmengerti mengapa Alek ikut-ikutan kubu si Aldam juga. Fiona yang bakal calon seorang ibu saja sama sekali tiada memiliki perasaan keibuan. Kuayunkan kakiku semakin kencang untuk cepat meninggalkan mereka semua. Meninggalkan jamuan makan malam di hangatnya api unggun yang dikelilingi empat tenda. Di sanalah kami menge-camp untuk beberapa hari mengambil informasi dan gambar sebagai bahan diterbitkannya majalah traveling, bisnis, dan pariwisata kami, bulan besok.

Biarlah di depan gelap, sendirian, hanya bermodal headlamp dan cintaku kepada anak semata wayangku aku mampu menjelahi hutan asing ini hingga apa yang hilang dariku kutemukan. Malas juga aku memakan nasi dicampur cap cay serta taburan suwir-suwiran ayam kampung Kalimantan dan se-cup susu cokelat buatan si Lambadranaya. Segera kutemukan ia yang jadi obat sakit hatiku selama ini. Malam ini juga pokoknya buah hatiku harus sudah ada dalam pelukanku.

“Kirey!!” Edison memanggilku. “Baiklah, kita cari Ludwig sama-sama!”

“Iya, Rey, tunggu sebentar! Kita pergi sekarang!” Aku tahu suara yang ini datang dari lelaki amat perhatian, bijaksana, dewasa, dan sok pria sejati di sana.

“Aku tahu perasaanmu, Rey,” seru Edison, “tapi ke sinilah dulu sebentar, paling lama 15 menit! Kita berdoa dahulu, juga bawa perlengkapan standarnya!”

Malah karib kuliahku yang sekarang membuatku jengkel. Sudahlah, sudah, menunggu mereka itu lama. Keburu subuh namanya. Bukannya dari tadi kalau cuma sekadar menyiapkan peta lokasi, kompas, senter, orientasi medan, teknik penyisiran, membawa string line sebagai penanda jejak di pohon, dan apalagi, ah, aku takpaham dan takmau tahu apa-apa saja yang tadi serius dibicarakan dan dikomandoi si guide sok tahu itu. Tapi Edison dan Alek manut-manut kerbau saja.

“Kirey tunggu! Rey, tunggu, Rey!”

“Mbak Kirey! Mbak Kirey!”

Aku sungguh kalap. Aku takmendengar lagi suara kasihan mitra liputanku yang terbaik dan setia kawan, Aleksandri Sadu. Juga panggilan sayang asisten mitra genius sekaligus teman kuliah S1-ku, Edison Pandistani Sitepu, S.H., yang selama di perapian tadi begitu hangat menenangkan perasaanku: Fiona. Aras Asmaya Fiona, sebelum aku kembali ke camp, mungkin ia terus berteriak-teriak panik memanggilku. Tapi aku takpeduli itu. Dan, barulah kakiku berhenti ketika ada satu tangan bersarung yang menggenggam lengan kananku. Kubalikkan badan kurusku. Mencoba berontak atau kuniatkan menampar pipi orang yang berani menarik salah satu organ tubuhku. Atau menutup kedua telingaku seandainya ia dengan soknya menceramahi dengan teori-teori yang jelas bukan bidangku.

“REY! Ingat, ini bukan Jakarta yang bisa semalaman lu jelajahi!” Sang penarik tangan kananku berbicara tegas seperti itu. Aku terkejut. Takut melihat sikapnya yang tidak biasa. “Ini hutan belantara, lu jangan sembarangan di sini!”

“Alek...!”

Aku terdiam. Ia bukan Edison. Apalagi si Lambadranaya yang ada dalam otakku jika berbuat demikian padaku. Ternyata ia adalah ayah dari lima anak dan suami dari dua istri yang diam-diam kukagumi. Kusalutkan rumah tangganya meski memiliki dua dapur dan dua kasur tapi takpernah kudengar mereka ribut atau bertengkar. Juga yang kupelajari keteladanan hidup darinya. Walau dalam keharian kami ia yang selalu kukacungi, kurepotkan, dan jadi pengikut abadiku setiap kali rapat redaksi-rapat evaluasi-dan atau ketika aku berpendapat apa pun. Tapi, malam ini, ia seolah memaksaku segera melepaskan jubah keangkuhanku.

Lihat selengkapnya